Kegiatan belajar mengajar sudah berjalan setengah hari tetapi sepertinya materi hari itu tidak ada yang masuk ke dalam pikiran gadis yang sedari tadi hanya melamun menatap ke luar melalui jendela kelas. Tidak heran jika dia di tegur beberapa guru saat mengajar.
"Velin!" teriak Naomi tepat di telinga Avelina. Avelina mengusap telinganya yang setengah mendengung akibat suara cempreng Naomi. Sedangkan sang empunya suara malah cengengesan.
"Ada latihan hari ini?"
Avelina berpikir sejenak, gadis selalu teringat bahwa ayahnya akan menemuinya sepulang sekolah untuk menjelaskan semua keanehan yang terjadi padanya. "Sepertinya hari ini aku tidak ikut latihan dulu. Aku ada keperluan."
"Baik, kalo begitu ayo kita pulang." Naomi riang.
Avelina beranjak dari kursinya sambil membereskan peralatan tulis dan bukunya lalu berjalan keluar kelas diekori Naomi. "Temani aku dulu ke ruang ekskul panahan. Aku ingin meminta izin pada Kak Vian."
"Dengan senang hati, Avelina," jawab Naomi sambil terkekeh kecil.
Mereka berjalan beriringan menuju ruang ekskul panahan. Mereka berdua terkejut terutama Avelina saat melihat pintu ruangan ekskul panahan yang masih terkunci. Biasanya ruangan itu selalu terbuka setelah lima menit bel pulang sekolah berbunyi.
Tanpa pikir panjang Avelina langsung mencari nama seseorang di kontaknya. Avelina mendesis saat orang yang dihubunginya sedang tidak aktif. Akhirnya dia mencari kontak orang lain.
Lama mencari nama seseorang di kontak, sontak Avelina menepuk jidatnya menyadari sesuatu.
"Ada apa?" tanya Naomi yang sedari tadi bingung melihat sahabatnya itu gelisah.
"Apa kau punya nomor ponsel Justin?"
"Apa?" Nada Naomi berubah ketus seketika. Avelina heran, apa yang membuat Naomi sampai sebenci itu dengan Justin.
Avelina buru-buru menjelaskan, "Kak Vian tidak bisa kuhubungi. Selain Kak Vian, yang bisa kuhubungi hanya Justin seorang."
"Aku tidak punya, tapi mungkin Malvin punya." Naomi mengambil ponselnya. "Kenapa kita tidak ke kelasnya saja?" Gadis itu memberi usul.
"Kelas siapa?"
"Justin." Naomi menjawab seraya mengedikkan bahunya.
Avelina berpikir sejenak. Gadis itu setuju, dia mengikuti Naomi yang menunjukkan dimana kelas Justin berada, kelasnya berada di lantai dua. Sempat terlintas di pikiran Avelina seberapa kenal Naomi dengan Justin, sahabatnya itu bahkan tahu dimana kelasnya.
Avelina ragu untuk memasuki kelas yang penghuninya tampak masih ramai itu, padahal bel pulang sudah berbunyi dua puluh menit yang lalu. Avelina menatap Naomi seolah berharap sahabatnya itu memberikan keyakinan untuk masuk ke dalam kelas. Naomi malah asyik melihat poster di mading depan kelas Justin.
Avelina mendengkus. Akhirnya setelah mengumpulkan keberanian, gadis itu menongolkan kepalanya di pintu kelas.
Seorang pria berkacamata yang sedang menghadap pintu langsung terkejut saat melihat Avelina. Pria itu mengira hantu.
"Mencari siapa, ya?" tanya pria berkacamata itu. Sontak seluruh penghuni kelas itu yang hampir seluruhnya pria ikut menoleh ke orang yang sudah pucat pasi di ambang pintu. Justin yang sedang mengemaskan barang-barangnya langsung berhenti dan ikut melihat ke arah pintu. Justin bergeming sebentar. Seolah mengerti tatapan Avelina padanya, pria itu pun keluar dari kelas. Teman sekelasnya sempat bersiul menggoda Justin.
"Ada apa?"
Avelina terkejut melihat wajah Justin yang babak belur. Tidak ingin terlihat peduli, gadis itu langsung bertanya intinya, "Ehm, tadi aku ke ruang panahan tapi tidak ada orang. Apa hari ini tidak ada latihan?"
Naomi yang berada tidak jauh dari mereka, menghampiri. Matanya sempat bersinggungan dengan Justin, cepat-cepat Naomi memundurkan langkahnya dan memilih untuk menunggu Avelina di tangga.
"Hari ini tidak ada latihan. Vian sedang sakit, katanya."
Avelina mengangguk, matanya meniliti wajah Justin yang penuh lebam. Rasa penasaran mendesaknya untuk bertanya tetapi gadis itu berhasil menahannya. "O-oh, Begitu. Baiklah. Terima kasih informasinya."
Justin mengangguk lalu berlalu kembali ke dalam kelas. Avelina berjalan menghampiri Naomi yang sudah siap menuruni tangga.
"Kenapa wajah Justin babak belur begitu?" kata Avelina setelah sampai di gerbang sekolah. Hanya bergumam heran.
Naomi hanya mengedikan bahunya seolah tidak minat untuk membahas itu, walaupun di dalam dirinya juga bertanya-tanya.
Mereka berdiri berdampingan di atas trotoar, sambil sesekali melihat jalan raya yang lumayan ramai.
"Hari ini aku dijemput ibu, Vel. Ibu mengajakku ke salon baru di perempatan jalan rumahku. Katanya sedang ada promo sulam alis. Entahlah." Naomi tertawa sebentar, "Kau pulang bersamaku saja. Ibu mengajakmu juga."
Avelina bingung harus menjawab apa. Ada hal penting yang harus dia ketahui dengan ayahnya. Disatu sisi, Avelina juga tidak enak jika menolak tawaran Naomi terlebih itu permintaan ibunya.
"Ehm. A-aku ...."
Tidak lama, sebuah mobil sedan bawarna hitam berhenti tepat di tempat mereka berdiri. Sang pengemudi membuka kaca mobil.
"Wah, Om David! Kenapa kau tidak bilang kalau kau dijemput ayahmu." kata Naomi heboh sembari menyikut Avelina. Avelina tertawa singkat sambil memutar bola matanya.
Untung ayah datang.
"Maaf ya, Naomi. Sepertinya—"
Naomi menyela cepat, "Ahh! Sudah tidak apa-apa. Gih, sana pulang."
"Kau mengusirku?"
"Yang benar saja." Naomi bergurau, lalu kedua sahabat itu tertawa bersama. David memandang mereka sambil geleng-geleng kepala.
"Kalau begitu aku duluan ya, Naomi." Avelina membuka pintu mobil seraya melambaikan tangan. Avelina jadi merasa tidak enak hati merahasiakan sesuatu dari sahabatnya itu. Baguslah, cukup Avelina saja yang berhadapan dengan mahluk itu, pikirnya.
Mobil mulai melaju pelan. Avelina menarik nafas dalam lalu menghembuskannya kembali. Gadis itu menatap lurus ke depan berpura-pura mengetuk-ngetukan botol air mineralnya yang dibelinya tadi, berharap semua itu terwakilkan untuk menyampaikan pada ayahnya bahwa Avelina ingin penjelasan itu sekarang. Namun, orang yang diberi kode justru tidak peka atau memang pura-pura tidak tahu, terlihat mata David yang tidak tenang saat menyetir, Avelina bisa melihat itu.
"Kita kemana, Ayah?"
Tidak ada jawaban dari sang ayah seolah jalan raya adalah prioritas fokusnya.
Tak kunjung mendapat jawaban dari ayahnya, Avelina memilih fokus pada jalanan di samping kirinya. Dia melihat jalanan yang tampaknya sangat familiar dan baru menyadari setelah melewati papan pembatas jalan yang dikenalnya.
Bukankah ini hutan yang waktu itu.
•••
![](https://img.wattpad.com/cover/153236083-288-k607208.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
IMAGINATION - New Revision
FantasyKetidakpercayaannya pada sebuah keajaiban malah membawa Avelina Evangelin masuk ke dalam dunia tidak masuk akal. Takdir seolah memilihnya untuk melanjutkan suatu misi yang tidak pernah berhasil di suatu dimensi lain. Siapa sangka, jika orang-orang...