"Ayah?"
"E-eh iya, tadi kau bilang apa?" David mengerjap sadar dari lamunannya.
Avelina menggeleng, "Tidak ada."
"Baiklah, kalau begitu, Ayah ingin ke garasi. Ayah melupakan dompet Ayah di mobil." David melangkah keluar, sedikit berlari.
Avelina melihat kepergian ayahnya sambil termenung, gadis itu memilih untuk pergi ke kamar. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara.
Dia disini
"Ayah?" Avelina menengok ke bawah karena posisinya sudah seperempat dari tangga. Tidak ada sahutan dari siapa pun.
Dia disini.
Bulu kuduk Avelina meremang seketika, gerakannya mendadak seperti mati rasa karena takut.
Dia disini.
"Siapa di sana?" Avelina mengeratkan tasnya, gadis itu mencoba untuk menuruni tangga perlahan dengan mata yang masih was-was.
Avelina mengambil tongkat baseball di samping tangga. Gadis itu berharap bisa keluar rumah dan menemui ayahnya. Dia melangkah hati-hati menuju pintu.
Sebelum akhirnya lampu mati dan rumah menjadi gelap.
"Ayah!" teriak Avelina spontan, mendadak seperti mendapatkan kekuatannya kembali. Gadis itu langsung berlari dalam kegelapan sampai tubuhnya terjungkal ke belakang karena menabrak sesuatu yang kuat.
Avelina melihat sekelibat dua cahaya berwarna biru. Cahaya itu mendekat. Sampai terdengar bunyi langkah kaki seiring cahaya itu mendekat.
Itu sepasang mata. Siapa itu?
Avelina mendadak kaku, saat tahu kedua cahaya itu adalah sepasang mata. Mata yang tajam.
"Oh, Tuhan." Jantung Avelina berdegup kencang saat kedua mata cahaya biru itu berada di depannya, berhadapan. Tongkat baseball yang ia genggam seakan tak berfungsi.
"Ayah!" teriak Avelina kencang disusul pintu rumah yang terbuka.
"A-Ayah?" Cahaya lampu remang-remang dari luar tertangkap masuk ke rumah sehingga Avelina dapat melihat siluet dari sosok yang berada di depannya. Bentuknya mengerikan.
Tiba-tiba lampu rumah menyala, saat itu juga sosok itu menghilang. David langsung berlari ke arah putrinya. Avelina terengah-engah, dia lega dan juga takut. Gadis itu masih mengatur nafasnya.
"Apa dia menyentuhmu?" tanya David khawatir sambil terus melihat segala sisi wajah Avelina, "Apa dia menyentuhmu, Avelina?"
Avelina menggeleng tidak mengerti. "Tadi itu apa, Ayah?"
David tidak menjawab, pria itu melihat lengan kiri putrinya dengan terkejut. Avelina mengikuti arah pandangnya, matanya membelalak sempurna.
Terdapat bekas tiga garis memanjang berwarna hitam seperti bentuk cakaran di bagian atas lengan kirinya. Avelina menggosok bekas itu, mengira noda tetapi ternyata bekas itu tidak hilang.
"Padahal aku tidak merasa disentuh, Ayah."
David membawa putrinya ke sofa ruang tamu dan membawakan kotak P3K. David mengobati lengan kiri Avelina, Avelina sedikit tersentak saat lengannya diberi salep.
Bekas lebam itu ternyata memang nyata, Avelina merasa perih. Bukan bekas cakaran melainkan memar. Avelina bergeming sebentar, gemetar ditubuhnya masih belum hilang.
"Apa masih sakit?" David menyadarkan lamunan putrinya yang dijawab anggukan.
"Tadi itu apa, Ayah?" tanya Avelina sekali lagi. Gadis itu sungguh kebingungan.
David menatap putrinya dengan tatapan seperti mencari jawaban atas semua yang terjadi.
"Rahasiakan ini semua dari ibumu." ujar David setelah berkali-kali menghembuskan nafas.
"Kenapa, Ayah? Apa Ayah tahu sesuatu?"
David diam lalu memejamkan matanya. Hal itu membuat rasa penasaran Avelina meningkat. Dia yakin bahwa ayahnya tahu sesuatu tentang semua hal yang sudah terjadi pada dirinya.
"Ayah?" Avelina mengguncang tangan David. "Apa Ayah juga mengetahui tentang buk—"
"Avelina, kenapa ibumu belum pulang juga, ya? Apa Ayah harus menyusulnya?" potong David cepat. Tanpa basa-basi pria itu menyambar kunci mobilnya di atas meja dan pergi ke luar.
"A-apa?"
Avelina menyandarkan punggung di sofa sambil memegang lengannya. Kepala gadis itu terasa berat memikirkan semua kejadian aneh itu ditambah ayahnya juga bertingkah aneh. Dia hanya berharap, semoga hal aneh tidak akan terjadi lagi setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMAGINATION - New Revision
خيال (فانتازيا)Ketidakpercayaannya pada sebuah keajaiban malah membawa Avelina Evangelin masuk ke dalam dunia tidak masuk akal. Takdir seolah memilihnya untuk melanjutkan suatu misi yang tidak pernah berhasil di suatu dimensi lain. Siapa sangka, jika orang-orang...
