Sekolah dipulangkan lebih cepat dari hari biasanya, sepertinya ada hal yang baru saja terjadi karena hari itu halaman belakang sekolah tampak sangat ramai. Avelina berjinjit untuk melihat apa yang membuat orang berkerumun termasuk guru dan kepala sekolahnya. Beberapa polisi juga tengah sibuk diantaranya.
"Ayo, kita lihat!" Naomi menarik lengan Avelina melewati kerumunan.
Belum sempat melihat, polisi mulai membubarkan kerumunan, perhatian orang-orang terhenti begitu mendengar suara jeritan perempuan. Seorang siswi SMA Dasawangsa tengah menangis pilu. Seragamnya penuh darah, rambut cokelatnya berantakan dan tampak lepek karena keringat.
Ada apa sebenarnya?
Naomi bergidik ngeri, gadis itu takut dengan darah. Dia menarik-narik ujung seragam Avelina sambil merengek, "Ayo, sebaiknya kita pulang."
Bukannya pergi Avelina malah mendekat, meninggalkan Naomi yang sudah gemetaran. "Avelina!"
Avelina melihat perempuan itu. Dia baru ingat bahwa perempuan itu salah satu kakak kelasnya.
"Tidak!!" teriak perempuan itu sambil berusaha melepas kukungan petugas medis.
"Apa benar monster?"
Avelina mengerjap, dia mendengar apa yang orang-orang perbincangkan. Tanpa ragu, gadis itu kembali mendekat ke tengah halaman belakang sekolah.
"Hei, jangan mendekat," omel salah satu polisi.
Avelina terkejut, spontan menutup mulut. Seorang siswa SMA Dasawangsa tergeletak mengenaskan dengan mata terbuka, seragam putihnya sudah penuh dengan noda darah. Terdapat banyak luka seperti cakaran menghiasi tubuhnya. Siswa itu tewas.
"DIO!!!" Siswi tadi berteriak lagi, kali ini dia menyebutkan nama Dio.
"Hei-hei, jangan dekati area ini!" Seorang polisi dengan kesal menggiring orang-orang yang mengeyel termasuk Avelina. Avelina pasrah begitu garis polisi sudah dipasang. Kepala sekolah dengan tegas memerintahkan untuk semua siswa-siswi pulang dan mengosongkan area sekolah. Semua kegiatan termasuk ekskul pun diliburkan hari itu.
Avelina celingak-celinguk mencari Naomi.
Ah dasar bocah itu. Dia pasti meninggalkanku. Baiklah Avelina, hari ini kau berangkat sendiri pulang pun sendiri.
Seperjalanan pulang, Avelina tidak berhenti memikirkan kejadian itu. Seorang siswa bernama Dio. Dia ingat, pernah mengenalnya. Beberapa tahun yang lalu, saat Avelina duduk di kelas sepuluh. Gadis itu sempat mengobrol dengannya mengenai lomba panahan antar sekolah yang pada waktu itu, Avelina dikirim untuk mewakili nama sekolah mengikuti sebuah lomba dan Dio adalah murid berprestasi yang sempat memenangkan lomba panahan sampai tingkat nasional saat dia duduk di kelas sebelas.
"Kak Dio hebat ya, bisa membawa nama sekolah sampai tingkat nasional! Bagaimana Kak Dio bisa mencapai semua itu? Ada yang pernah bilang memanah itu butuh perasaan yang mendalam. Apa iya?" tanya Avelina sambil memainkan busurnya.
"Perasaan ya?" Dio tertawa renyah. "Ingat ya, anak panah akan meluncur dengan cepat setelah penarikan mundur yang terjauh. Jika kita mengalami proses mundur yang terjauh dan memusatkannya pada satu titik percayalah kita akan meluncur sangat cepat ... dan tepat!" lanjutnya.
"Kak Dio," gumam Avelina sendu seraya membuka pagar rumahnya.
Sesampainya di rumah, Avelina melepaskan sepatu lalu melempar tas ranselnya asal. Avelina duduk sambil bersandar di sofa. Ayah dan ibunya tidak ada di rumah, David pasti bekerja, sedangkan Lauren mengurus laundry-nya.
Avelina memutar kembali memori dimana dia melihat mayat Dio, kakak kelasnya.
Luka-luka cakaran itu. Avelina menarik ujung lengan seragamnya, bekas lebam itu juga masih ada. Gadis itu meringis pelan saat mencoba menyentuhnya.
Avelina mengambil ranselnya yang dia lempar dan mulai menggeledah isinya. Merasa lega karena menemukan apa yang dia cari.
Dikeluarkannya buku ungu kusam itu. Avelina menatap lamat-lamat sebelum kembali membuka buku ajaib itu.
Avelina tahu bahwa semua hal aneh yang terjadi di sekitarnya pasti ada hubungannya dengan buku itu tetapi sebagai manusia normal, gadis itu masih takut untuk menguak lebih dalam. Maka dari itu, dia jarang membuka buku ajaib yang diberi nama imajnasi itu, takut-takut hal yang malah tidak diinginkannya terjadi.
Avelina membuka lembaran dengan hati-hati, halaman silih berganti, keanehan yang terdapat di lembar pertama dan kedua, Avelina coba untuk lewati.
Kalau buku ini bisa menggambarkan apa yang aku bayangkan, mungkin saja lembar selanjutnya akan ada petunjuk mengenai kejadian tadi.
Avelina menahan nafas seketika begitu melihat lembaran-lembaran buku itu memunculkan sebuah gambar dengan ajaib, dengan cepat dia membalik ke lembar selanjutnya. Rasa kejutnya bertambah dua kali lipat. Jantungnya berdegup keras, tangannya gemetar. Sebelum kembali mencermati, dia sempat menarik nafas dalam.
Ayo, Avelina. Avelina menguatkan diri sendiri.
Dengan fokus, Avelina melihat sebuah gambar di lembar ketiga; seorang gadis di dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu remang-remang. Gadis itu memegang sebuah tongkat. Lengannya seperti di cengkram oleh mahluk aneh berkulit hitam dan bersisik, matanya berwarna biru persis seperti sepasang nata yang dilihat Avelina di ruang tamu rumahnya. Dibalik mahluk itu ada seseorang di ambang pintu, di bawah sebuah sinar. Bukan. Itu sepertinya juga bukan manusia, dari pinggang hingga ke bawah bentuknya seperti kuda. Itu manusia setengah kuda.
Masih digandrungi rasa penasaran, Avelina membuka lembar selanjutnya. Sebuah gambar taman hijau terdapat seorang laki-laki memakai seragam putih abu-abu terkapar di tanah bersimba darah, tidak jauh dari laki-laki itu ada mahluk. Mahluk yang aneh.
Mahluk itu. Mahluk yang sama seperti mahluk yang aku jumpai di sekolah tadi pagi.
Avelina bergidik ngeri, berarti mahluk yang dia jumpai tadi pagi itu nyata.
Avelina gemetar, dia takut. Gadis itu mengusap gambar lelaki itu. Setelah diperhatikan dengan cermat, dalam gambar ini laki-laki itu memegang sebuah liontin, liontin berwarna hijau, sinar hijau tampak mengelilingi benda itu.
Avelina mengeryit, jika gambar keempat ini adalah kejadian tadi pagi, berarti gambar di halaman ketiga itu adalah kejadan kemarin, kejadian yang dialaminya. Gadis dalam gambar ini adalah Avelina. Lengan gadis itu dicengkram oleh mahluk itu. Dengan refleks, Avelina melihat lebam di lengannya.
Lalu, mahluk di ambang pintu ini siapa? Bukankah kemarin yang membuka pintu dan yang berada di ambang pintu adalah ayah? Manusia setengah kuda ini adalah ayah?
KAMU SEDANG MEMBACA
IMAGINATION - New Revision
FantasyKetidakpercayaannya pada sebuah keajaiban malah membawa Avelina Evangelin masuk ke dalam dunia tidak masuk akal. Takdir seolah memilihnya untuk melanjutkan suatu misi yang tidak pernah berhasil di suatu dimensi lain. Siapa sangka, jika orang-orang...
