problems and pieces of memories

1.2K 75 9
                                    

Suasana gerah,hati resah, pipi merah, ingin marah, rasanya parah.

-Almira aresha
.


Kasih tau kalo ada typo ya:)

-happy reading!

Senin, seperti biasanya, hari keramat bagi seluruh murid. Hari dimana semuanya murid harus memakai atribut sekolah dengan lengkap dan juga rapi. Termasuk siswa yang tergolong nakal, yang biasanya tidak memakai ikat pinggang serta bajunya yang dikeluarkan kini harus dengan rela memasukan bajunya sebelum memasuki gerbang sekolah dan bertemu dengan malaikat maut yang hobinya berteriak.

"Ayo, ayo, lari! Lelet banget kamu kaya siput! Heh, kamu, masukan itu bajunya! Itu juga ngapain kamu pake sandal! Rumahmu kebanjiran, huh? Sini kamu!" teriak Pak Samsudin dengan logat khas jawanya. Dia tengah berdiri disamping gerbang, menjalankan rutinitasnya setiap senin, memantau siswa-siswi yang melanggar aturan kemudian memisahkannya saat upacara akan dimulai.

"Kenapa, Pak? " ujar cewek itu terlihat bingung.

"Kenapa? Masih sempet-sempetnya kamu nanya." Pak Samsudin memelotot dan siswi dihadapannya itu cengengesan.

"Siapa namamu?"

"Mau ngapain emang, Pak?"

"Mau saya tulis dicatatan buku pelanggaran sekolah!"

"Eh! Jangan dong, Pak. Emang salah saya apa main tulis-tulis aja si Bapak," siswi itu mendelik.

"Sandal Jepit!" tekan Pak Samsudin melirik sandal bulu-bulu yang dipake cewek itu.

Siswi itu ikut melirik ke bawah, dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal ditambah cengiran kudanya. "Kelupaan, Pak, tadi buru-buru. Tapi saya bawa kok sepatu, nih!" siswi itu mengangkat sepatunya yang ditenteng ke sebelah kirinya.

Pa Samsudin sedikit mundur akibat gerakan siswinya itu. "Yasudah, nanti sampe dikelas langsung dipake itu sepatunya. Namamu siapa?"

"Mira, Pak. Almira."

Pak Samsudin menulis sesuatu dibukunya. Lalu merlirik Mira yang masih berada dihadapannya. "Sudah cepat ke kelas kamu! Mau nungguin saya?"

Mira menggeleng. "Bukan, Pak. Itu poinnya jangan dikasih gede ya, Pak. Poin saya udah banyak soalnya."

"Terserah saya lah! Makanya kamu jangan bikin ulah terus kerjaannya!"

Mira mencebik. "Dasar keriput," gumamnya.

"Apa kamu bilang!"

"Eh enggak-enggak, Pak. Saya pergi dulu, Pak. Permisi." Mira segera mengacir sebelum Pak Samsudin ngamuk. Dia tersenyum sepanjang orang yang menyapanya, termasuk Pak Jono—satpam sekaligus teman Mira.

Mira akhirnya tiba dikelas. Napasnya masih tersenggal-senggal akibat lari-larian. Bayangkan saja kelasnya terletak dilantai dua. Dan Mira harus berlari dari lapangan ditambah harus desak-desakan saat ditangga.

"Telat mulu," kata Sera berpas-pasan didepan pintu kelas.

Mira hanya tersenyum.

Tell Me Why?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang