Jika aku memang salah, katakanlah meski hanya sepatah kata. Jangan malah diamkan aku diatas segala kesalahan.
-Riga Ganendra.
happy reading!
Sebuah motor yang baru saja dikendarai oleh Riga sudah terparkir rapih didepan pekarangan rumah. Cowok itu segera memasuki rumahnya dengan memainkan kunci motornya, melemparnya ke atas, kemudian menangkapanya, melemparkannya kembali dan menangkapnya lagi.
Terus saja seperti itu sampai dia berhenti di ruang tamu. Riga memperhatikan sekelilingnya, suasana rumah tampak sepi. Biasanya jam-jam segini Lavina—Adik perempuan satu-satunya itu menonton acara sinetron ala-ala cinta monyet. Tetapi, kali ini terlihat sangat sepi sekali, seperti tidak ada penghuni seorangpun.
Riga menghempaskan tubuhnya ke sofa. Seragam basketnya masih melekat dibadannya, dia belum sempat menggantinya tadi. Perlahan, matanya memejam dengan deru napas yang teratur juga tangan yang terlentang bebas, seolah membawa pikirannya pada kejadian tadi.
Ya. Kejadian dimana Riga tidak tau harus melakukan apa saat Aira mendiamkannya saat itu. Aira bahkan menolak untuk pulang bersamanya. Semua memang karena ucapan Zaflan. Riga tidak suka jika seseorang mencampuri urusannya. Tetapi, Riga juga berpikir, Zaflan adalah temannya dan dia wajar saja memberi masukan atau nasihat yang menurutnya baik.
Tapi titik kesalahan Zaflan adalah saat dia melontarkan perkataan saat diwaktu dan momen yang tidak tepat. Seharusnya dia mengatakannya berdua saja dengan Riga. Tidak usah saat ada Aira, apalagi Zaflan mengatakannya dengan lantang.
Aira itu tipe orang yang selalu merasa bersalah dan Riga tidak suka jika Zaflan mengatakan sesuatu yang menjadi pikiran bagi Aira. Riga tau Zaflan mengatakannya dengan sengaja, entah apa tujuan cowok itu Riga tidak mengerti. Zaflan bahkan suka terang-terangan menyalahkannya.Suara yang terbentur keras berhasil membuat mata Riga membuka seketika. Dia menoleh pada sumber suara. Wajah adiknya muncul dibalik pintu dengan raut wajah sumringah.
"Kakaaaa!" pekik Lavina girang menghampiri Riga.
"Ganti baju dulu sayang," Mama muncul disusul Papa dan Bibi (Asisten rumah tannga) dibelakangnya.
"Bentar dulu, Ma." Lavina berdiri dihadapan Riga. "Kaaa, ayo tebak aku habis darimana coba."
Dengan masih memejamkan matanya Riga menjawab asal. "Beli buku."
Lavina memelotot, dia memukul lengan Riga hingga Riga sedikit meringis. "Ih bukan tau! Coba tebak lagi deh, ayo! Buka dulu matanya Kaaa,"
Riga memijit kepalanya yang terasa pusing, dia menghela napas panjang. "Kaka gatau, De."
"Huhhh payah!" Lavina menghempaskan tubuhnya Riga. "Akutuh habis dari nikahannya anaknya Om Reno. Liat deh, aku pake baju kebaya samaan sama Mama sama Papa, masa ke toko buku pake kebaya sih." Lavina memanyunkan bibirnya sebal.
Riga tertawa mendengar penuturan adiknnya itu. "Anak Om Reno yang mana? Istrinya cantik gak?"
"Cantik donggg! Tadi aku abis foto sama istrinya, mau liat ga fotonya"
Riga menegakan punggungnya dan mengubah posisi jadi menghadap ke arah Lavina. "Mana coba liat," pintanya.
"Eh. Jangan deh, kaka dateng aja kesana kalo mau tau hehe."
"Males."
"Ih ko gitu sih. Ajak Ka Aira dong biar kaka ga males, biasanyakan suka semangat kalo ada ka Aira."
Riga memutar bola matanya. "Iya nanti."
"Sekalian beliin aku buku ya? Yayaya, please." Lavina bergelayut manja dengan menampakan puppy eyesnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tell Me Why?
Teen FictionTerimakasih sudah mematikan harapan. Setidaknya sekarang aku tau untuk siapa hatimu. Setidaknya sekarang, sudah tidak ada lagi alasan untuk aku menggapaimu kembali. *** Dulunya, Almira dan Riga sangatlah dekat. Banyak ora...