Bab 1 ( Better version )

12K 1K 75
                                    

Vira Scorpiona Lean, seorang gadis Jakarta yang baru saja genap berusia 25 tahun, akhirnya mencapai titik jenuh dengan hiruk-pikuk kota kelahirannya. Ia merasa sudah waktunya mencari suasana baru, dan pilihan jatuh pada Bandung, si Kota Kembang yang selalu menggoda.

Sebagai karyawan sebuah bank ternama di Indonesia, Vira tidak perlu berpikir panjang ketika dipindahtugaskan ke Bandung. Kesempatan ini dianggapnya sebagai pelarian manis dari rutinitas Jakarta yang melelahkan. "Jakarta lagi, Jakarta lagi," gumamnya dulu setiap pagi di antara kemacetan. Meskipun Bandung bukan tanpa kesibukan, setidaknya ada sedikit perubahan.

Hari pertama di kota yang baru ini, Vira menghadapi masalah baru: mencari tempat tinggal. Kost-kostan yang ia incar ternyata penuh, sementara menyewa apartemen terlalu mahal untuk ukuran kantongnya. Terpaksa, malam itu ia harus rela check-in di hotel dekat kantor, sedikit menyesal karena belum mempersiapkan segalanya lebih awal.

Keesokan harinya, setelah selesai bekerja, Vira memutuskan untuk berjalan-jalan, berharap menemukan rumah yang dijual di sekitar lingkungan kantor barunya. Di ujung sebuah jalan kecil, sebuah rumah besar menarik perhatiannya. Gerbang kayu jati yang megah dengan cat yang sedikit terkelupas, dan tulisan "Rumah Ini Dijual" terpampang jelas di sana, mengundang siapa saja untuk mendekat.

Jantung Vira berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang menarik dari rumah itu—seakan memiliki cerita panjang yang siap untuk dibuka. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dari saku celana, mencatat digit demi digit nomor telepon yang tertera di papan itu, sembari berharap, mungkin saja, rumah ini akan menjadi awal baru yang selalu ia impikan.

Keesokan harinya, Vira bertemu dengan pemilik rumah tersebut di depan bangunan klasik yang telah menarik hatinya sejak pertama kali melihat. Seorang pria berusia sekitar 50-an tahun dengan wajah ramah menyambutnya. "Pak, rumah ini dijual berapa?" tanya Vira, langsung ke inti pembicaraan. Ia tidak ingin bertele-tele.

Pemilik rumah itu, yang kemudian Vira ketahui bernama Pak Herman, hanya tersenyum tipis. "250 juta saja," jawabnya tenang.

"Serius, Pak?" Mata Vira membelalak, tak percaya dengan harga yang disebutkan. Untuk rumah semewah dan sekokoh ini, harga tersebut terlampau murah. "Rumahnya klasik dan kelihatan kokoh. Masa cuma 250 juta?"

Pak Herman hanya mengangguk, senyum tidak pernah lepas dari wajahnya. "Iya, Nak. Rumah ini sudah saya jual sejak 10 tahun lalu, tapi tak kunjung ada yang mau membeli. Seiring waktu, harganya turun terus. Saya sudah pasrah, dan syukurnya sekarang ada yang tertarik."

Vira melangkah lebih dekat, tangannya menyentuh gerbang kayu jati yang terasa halus dan terawat. Ia menelusuri ukiran-ukiran yang masih utuh, tak ada tanda-tanda kerusakan. "Tapi Pak, rumah ini kelihatannya sangat terawat. Apa ada bagian yang rusak atau perlu diperbaiki?" tanya Vira dengan sedikit ragu.

"Terawat, Nak. Saya pastikan itu. Gak ada bagian yang rusak. Setiap sudut rumah ini selalu saya jaga," jawab Pak Herman dengan yakin.

Vira terdiam sejenak, pikirannya berputar antara tawaran yang sangat menggiurkan dan perasaan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik harga murah ini. Tapi, entah kenapa, hatinya berkata untuk mengambil kesempatan ini. "Baik, Pak. Saya setuju. Nanti uangnya saya transfer. Jadi, saya bisa pindah hari ini juga?"

"Oh, tentu bisa, Nak Vira. Mari, saya antar melihat-lihat bagian dalam rumahnya dulu," ujar Pak Herman dengan ramah.

Ketika gerbang kayu itu terbuka, seolah ada angin lembut yang menyambut kedatangan Vira, menyentuh kulit wajahnya dengan halus. Langkah demi langkah, ia mengikuti Pak Herman yang memandu masuk ke dalam rumah. Matanya langsung terpikat oleh gaya vintage yang begitu kental. Perabotan antik, dinding dengan ornamen-ornamen klasik, hingga lantai kayu yang masih kokoh dan terawat, semuanya seolah membawa Vira ke masa lampau.

MR. DIRK (up again GITM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang