Bab 4 ( Better Version )

7.8K 852 57
                                    

"Vira, gue pulang duluan, ya!" ujar Hazel, teman kerjanya yang sudah membereskan meja. Hazel menenteng tas di tangan kiri, sementara tangan kanannya memijat pelan pundak Vira yang tampak pegal setelah seharian bekerja.

Vira menoleh dan tersenyum. "Iya. Hati-hati, ya. Oiya, kayaknya gue lembur hari ini."

"Ck. Bukan cuma hari ini lo lembur, kemarin-kemarin juga," sindir Hazel sambil menyilangkan tangan.

Vira hanya tertawa kecil, mengusap tengkuknya yang terasa kaku. "Iya nih, lagi semangat kerja. Lo pulang aja duluan, gue mungkin... eumm," Vira melirik jam di pergelangan tangannya, "sampe jam setengah sebelas di sini."

Hazel mengangguk, mereka beradu pipi sebagai salam perpisahan, lalu Hazel pamit pulang. Kini, hanya Vira yang tersisa di kantor cabang bank tempatnya bekerja. Blok meja teman-temannya sudah kosong, lampu-lampu sebagian sudah dimatikan. Wajar, sudah jam sembilan malam. Mereka tentu ingin cepat-cepat beristirahat di rumah.

Vira sebenarnya juga ingin, tapi membayangkan rumah barunya yang seram itu membuatnya tak ingin cepat pulang. Pekerjaan menjadi alasan pelariannya.

Waktu terus berjalan. Mang Asep, satpam di sana, mendekati meja Vira yang masih terang karena lampu kerjanya. "Neng, gak pulang? Udah malam, atuh. Nanti bahaya kalau larut malam masih di jalan. Takutnya kenapa-kenapa," tegurnya.

Gadis itu menoleh, terlihat begitu kelelahan, matanya sudah tampak seperti panda. Vira menguap dan menggeliat sedikit. "Hoam... iya, Mang, ini juga mau pulang," jawabnya dengan suara serak.

"Ya sudah kalau begitu, hati-hati, ya, Neng. Mamang mau keliling lagi," ujar Mang Asep sambil berlalu.

"Iya, Mang, makasih udah ngingetin," balas Vira, tersenyum lemah.

Setelah Mang Asep pergi, Vira berdiri, meregangkan otot-otot yang kaku. "Cukup untuk hari ini," gumamnya. Ia mulai membereskan berkas-berkas yang akan dibawanya pulang.

Lampu di atas meja kerjanya dimatikan, dan suasana kantor berubah menjadi sunyi dan seram. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju lift, menekan tombol lantai dasar. Hawa dingin tiba-tiba menyelinap, menggelitik tengkuknya, membuat Vira refleks mengusap lehernya yang terasa dingin.

"Jangan lagi."

Batin Vira berteriak ketakutan. Sepertinya malam ini ia akan menginap di hotel saja. Sesampainya di lantai dasar, ia bergegas menuju mobilnya. Untungnya, mobil itu diparkir tepat di depan gedung, bukan di basement.

Vira segera masuk ke dalam mobil, mengambil napas panjang sebelum menghembuskannya pelan. Dengan tangan gemetar, ia memutar kunci kontak dan mesin menyala. Tanpa membuang waktu, ia meninggalkan area gedung tempatnya bekerja. Jalanan Bandung masih ramai, seperti Jakarta yang tak pernah tidur.

Saat akan berbelok ke arah hotel, tiba-tiba setir mobilnya terasa berat. Seberapa keras Vira mencoba, mobil itu tidak bisa berbelok. Wajahnya mulai memucat, dan rasa takut menjalari tubuhnya. Dari sudut matanya, Vira melihat sosok Dirk duduk di sebelahnya, tersenyum miring. Vira tak berani menoleh, terus memfokuskan pandangannya ke kaca samping.

"Ya Tuhan, kenapa lagi?" bisiknya ketakutan.

Tangan Dirk yang dingin meraih dagu Vira, memaksa gadis itu untuk menatapnya. "Pulanglah," suaranya terdengar pelan namun tegas. "Kamu butuh istirahat, sayang. Jangan memaksakan diri. Tempatmu ada di rumah kita, ayo pulang."

Dirk bergerak maju, menyentuh bibir Vira dengan ciuman singkat, cukup untuk membuat gadis itu semakin gemetar. "Jalankan mobilnya," perintah Dirk lembut sambil mengusap rambut Vira.

Dengan terpaksa, Vira menggerakkan mobilnya kembali menuju rumahnya yang angker. Namun, kendali mobil terasa lepas dari tangannya. Seolah-olah, mobil itu berjalan sendiri. Dirk menarik Vira ke dalam pelukannya, membuat gadis itu hanya bisa pasrah. Aura seram semakin terasa ketika mereka tiba di depan rumah Dirk; gerbang besar itu terbuka dengan sendirinya, seperti menyambut kedatangan mereka.

Pintu mobil Vira pun terbuka otomatis. Vira turun dengan tubuh gemetar, disambut oleh uluran tangan dingin hantu pria itu. Suara gerbang menutup dengan sendirinya, membuat Vira terkejut dan sedikit melompat. Jam menunjukkan pukul 12:03, dan lampu-lampu rumah mulai padam satu per satu. Dengan lembut, Dirk membimbing Vira masuk ke kamarnya.

"Ganti bajumu, dan tidurlah," ujar Dirk lembut namun tegas. "Jangan bekerja sampai larut malam lagi, karena aku tak bisa menjagamu di saat-saat tertentu."

Ucapan Dirk membuat Vira terdiam, merasa heran. Apakah mungkin pada malam tertentu Dirk tidak bisa keluar dari cerminnya? Sungguh aneh.

Saat Vira hendak masuk ke kamar mandi, langkahnya terhenti. Ia hampir berteriak ketika melihat seorang anak kecil berambut pirang, berwajah pucat, sedang bermain air di bathtub. Anak itu tertawa riang, matanya menatap Vira dengan sorot penuh rasa ingin tahu. Lalu, tanpa berkata apa-apa, anak kecil itu berdiri, keluar dari bathtub, dan berlari mendekat.

Anak itu menembus tubuh Vira, meninggalkan rasa dingin menusuk yang menyebar ke seluruh tubuh. Vira berusaha menahan napas, hatinya terus memanjatkan doa-doa.

Setelah memastikan semuanya aman, Vira akhirnya mengganti pakaiannya, meskipun hatinya masih berdebar hebat.

...

"Buk, rumah itu teh bukannya udah lama kosong? Kok saya lihat sekarang ada yang ngisi, ya?" tanya Ratih, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di sebelah rumah Bu Fatma. Ratih menggendong anak kecil di pinggangnya sambil sesekali melirik ke arah rumah tua di sebelah.

Bu Fatma tersenyum tipis. "Iya, Bu Ratih, sudah ada yang ngisi. Namanya Vira, udah ada sebulan ini. Emang kunaon?" jawabnya dengan nada santai.

Ratih bergidik, tangannya memegang tengkuknya seakan merasakan hawa dingin tiba-tiba. "Ah, henteu, cuma... Rumah itu kan serem pisan, banyak jurig-nya! Kalau malam-malam, saya suka denger suara-suara aneh," ucap Ratih dengan nada berbisik, bulu kuduknya meremang seiring mengingat kejadian yang pernah ia alami.

"Ih, ulah ngomong kitu, ah. Saya jadi ikut takut," balas Bu Fatma, mencoba mengusir perasaan seram yang merayap di hatinya. "Ya sudah, lanjut nyapu lagi aja," ujarnya, mengakhiri obrolan mereka.

***

Vira yang sejak tadi mendengar percakapan mereka dari balik jendela kamarnya mulai terdiam. Semua cerita dan bisik-bisik tentang rumah tua itu terus terngiang di benaknya. Apa sebenarnya yang terjadi di rumah ini? Apa yang tersimpan selama puluhan tahun di balik tembok peninggalan Belanda ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di pikirannya, menambah rasa penasaran yang kian menggelora.

 Apa sebenarnya yang terjadi di rumah ini? Apa yang tersimpan selama puluhan tahun di balik tembok peninggalan Belanda ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di pikirannya, menambah rasa penasaran yang kian menggelora

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang pria tanpa kepala tiba-tiba muncul di belakang Vira, menunggangi kuda hitam dengan mata merah menyala, penuh kemarahan dan dendam. Vira sontak berlari menuju rumah, tak peduli lagi dengan rasa takutnya, dan langsung memeluk Dirk yang sedang duduk santai di sofa antik miliknya.

Aneh memang, pikir Vira, ia bisa merasakan kehangatan dan ketenangan dari pelukan hantu itu.

Dirk tertawa pelan, tawa yang terdengar menyeramkan. "Hantu tanpa kepala lagi, ya?" gumamnya dengan nada menggoda.

Vira menganggukcepat, tubuhnya masih gemetar ketakutan.  




...

SilviyaniRahayu👑

MR. DIRK (up again GITM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang