Bab 2 ( Better Version )

8.7K 873 45
                                    

Vira baru saja pulang bekerja, jam di tangannya menunjukkan pukul 17:02, menjelang maghrib. Ia memperhatikan suasana sekitar yang mulai lengang, para penghuni rumah di sekitarnya tampak bergegas masuk ke dalam rumah masing-masing, seperti dikejar sesuatu yang tidak terlihat. Wajah mereka tampak tegang, bahkan ada yang sampai menutup pintu dengan terburu-buru.

Rasa penasaran membuncah dalam diri Vira. "Memangnya ada apa?" gumamnya pelan. Tanpa ragu, ia menghampiri seorang ibu-ibu yang tengah mengintip dari balik gerbang rumahnya, wajahnya terlihat cemas dan penuh waspada.

"Permisi, Bu. Saya mau tanya, boleh?" sapanya ramah, mencoba untuk tidak membuat ibu itu semakin ketakutan.

Ibu tersebut tampak terkejut, matanya membesar saat melihat Vira, namun akhirnya ia mengangguk kaku dan membuka gerbang rumahnya sedikit. "Iya, Nak. Ada apa? Mau tanya apa?" suaranya bergetar, terdengar logat Sunda yang kental.

"Saya Vira, Bu. Kebetulan baru pindah di rumah ujung sana," Vira memperkenalkan diri dengan sopan sambil menjabat tangan ibu itu. "Saya mau tanya, kenapa Ibu dan yang lain kelihatannya terburu-buru masuk rumah? Dan kenapa tadi Ibu terus melihat saya dari tadi?"

Jabat tangan mereka terlepas, dan seolah tersadar akan sesuatu, ibu itu langsung menarik Vira masuk ke teras rumahnya. "Ssst... jangan bicara keras-keras, Nak," bisiknya cemas sambil melirik ke arah rumah Vira. "Ada hal yang harus kamu tahu tentang rumah itu, tapi tidak bisa bicara di sini. Cepat masuk, nanti keburu malam."

Jantung Vira berdegup lebih kencang, merasakan hawa misterius yang seakan menyelimuti sekelilingnya. "Ada apa, Bu? Ada apa sebenarnya dengan rumah saya?" tanyanya, semakin penasaran.

Mereka duduk bersebelahan di bangku teras, Vira dan ibu itu, sambil sesekali menoleh ke arah rumah besar yang kini Vira tempati. Bayangan rumah itu tampak suram dalam cahaya senja, dikelilingi pepohonan yang menjulang tinggi, membuatnya terlihat semakin misterius.

"Nak Vira yang sekarang tinggal di rumah itu, ya?" Ibu tersebut menunjuk ke arah rumah Vira, matanya tampak penuh rasa prihatin dan was-was.

"Iya, Bu. Kenapa memangnya?" Vira mengerutkan kening, mencoba menebak maksud ibu itu.

Ibu tersebut menghela napas panjang. "Kenapa Nak Vira mau tinggal di sana? Rumah itu, katanya berhantu. Orang-orang sini bahkan takut untuk sekadar lewat di depan rumah itu kalau sudah lewat jam sembilan malam," katanya pelan, seakan takut ada yang mendengar.

Vira tersenyum tipis, berusaha menenangkan ibu itu. "Ah, Ibu. Jangan nakut-nakutin saya, dong. Dari kemarin, saya nggak ada merasakan hal aneh kok di sana," ucapnya santai.

Ibu itu tiba-tiba menggenggam tangan Vira erat, matanya menatap Vira dalam-dalam. "Nak, rumah itu dulu milik seorang bangsawan Belanda. Rumah itu diwariskan turun-temurun hingga akhirnya jatuh ke tangan Pak Herman. Tapi, arwah pemilik asli rumah itu tidak terima jika rumahnya diwariskan kepada seorang pribumi. Sejak saat itu, banyak kejadian aneh yang terjadi di rumah itu. Warga sering mendengar derap langkah sepatu tentara Belanda dan teriakan seorang kolonel dari dalam rumah," jelas Ibu itu dengan nada bergetar.

"Oh, begitu ceritanya, ya?" Vira mengangguk, matanya menyipit sedikit sambil berpikir. "Ngomong-ngomong, nama Ibu siapa?"

"Saya Fatma, Nak. Kamu bisa panggil saya Ibu Fatma."

Vira tersenyum. "Baik, Bu Fatma. Jadi, rumah itu sudah lama dijual, ya?"

"Iya, sudah sepuluh tahun, Nak. Tapi setiap kali ada yang mau membeli, pasti ada saja kejadian aneh yang membuat mereka membatalkan niatnya," jelas Ibu Fatma. Ia menatap Vira dengan sorot mata yang seakan meminta gadis itu untuk berhati-hati.

Vira hanya mengangguk, melirik jam di tangannya yang kini menunjukkan pukul 17:58. Waktu maghrib sudah tiba. "Terima kasih ya, Bu Fatma, sudah berbagi cerita. Saya pamit dulu," ujar Vira seraya bangkit dari duduknya.

MR. DIRK (up again GITM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang