Bab 15 ( Better Version )

4.9K 728 25
                                    

Dios sudah terbangun dari pingsannya. Dia mencoba duduk, tapi langsung dicegah oleh Dirk yang segera menghampirinya. "Tetaplah berbaring, kamu masih shock, kan? Aku tahu pasti ini sangat mengejutkan."

Namun, Dios menggeleng pelan dan tetap memaksakan diri untuk bangkit, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Dia tersenyum kecil, meski pahit, pada Dirk—kakaknya yang kini pucat dan tak lagi hidup, hanya roh yang tersisa. Dios tertunduk, memandang kakaknya dengan tatapan penuh penyesalan. Hatinya berkecamuk, merasa bersalah karena tak bisa melindungi semua orang di rumah ini, terutama kakaknya sendiri.

"Aku sangat menyesal, Kak. Aku pengecut. Aku pikir semuanya akan baik-baik saja," ucap Dios, suaranya parau, penuh sesal. Dirk mencoba tersenyum, meskipun sulit. Senyum itu hanya sebatas gerakan bibir tanpa kebahagiaan di dalamnya.

"Kamu bukan pengecut, Dios. Tak perlu menyesal. Ini semua sudah takdir yang harus kita jalani," kata Dirk lembut. "Aku senang kamu masih hidup dan baik-baik saja. Kakak bahagia bisa bertemu kamu lagi."

Mendengar itu, air mata Dios jatuh dengan sendirinya. "Bagaimana aku bisa baik-baik saja, Kak, kalau semua orang yang aku cintai sudah pergi? Kamu pikir begitu? Aku... aku tidak baik-baik saja. Kamu, yang lain... kalian semua sudah pergi selamanya. Bagaimana aku bisa hidup tanpa kalian?"

Dirk menatap adiknya dengan penuh kasih. Dia lalu meletakkan telapak tangannya di atas kepala Dios, mengusap rambutnya pelan. "Kakak percaya, kamu akan baik-baik saja. Hidup harus terus berjalan. Jika Tuhan sudah berkehendak, siapa yang bisa membantah? Kamu harus belajar mandiri."

Dios menepis tangan kakaknya dengan cepat, wajahnya berpaling ke samping. "Aku tetaplah anak yang manja, Kak. Aku butuh kamu untuk membimbingku. Aku tidak bisa sendirian."

Dirk hanya terkekeh pelan mendengar keluhan adiknya. "Ayolah, laki-laki jangan cengeng. Bersembunyi di balik kakaknya terus. Kakak yakin, kamu laki-laki yang hebat dan bisa melewati ini semua."

Sementara percakapan serius itu terjadi, Vira lebih memilih menjauh. Dia memutuskan berjalan keliling rumah, meninggalkan kedua kakak-beradik itu dalam keharuan. Ada beberapa ruangan yang belum pernah ia periksa sejak tinggal di rumah ini. Ketika dia melewati sebuah gudang penyimpanan kardus-kardus bekas, dia mendengar sesuatu—suara tangisan, samar tapi jelas berasal dari dalam gudang.

Vira berhenti di depan pintu, menempelkan telinganya ke pintu gudang untuk mendengar lebih jelas. Tangisan itu masih terdengar. Dengan langkah hati-hati, dia mundur beberapa langkah. Apa itu suara tangisan hantu? pikirnya. Tidak mungkin. Siang bolong begini, mana ada hantu muncul. Ah, tapi Dirk kan hantu juga? Hahaha.

Dengan rasa penasaran yang makin besar, Vira bergegas menuju tempat penyimpanan kunci rumah. Setelah kembali, dia membuka pintu gudang dengan hati-hati. Betapa terkejutnya Vira ketika melihat seorang remaja laki-laki sedang duduk di sudut ruangan, menekuk lututnya, menangis cukup keras.

Darimana dia masuk? Apa dia maling? Tapi... tunggu, pakaiannya modis. Tidak mungkin maling secantik ini. Vira mencoba mendekati remaja itu, lalu berjongkok di sampingnya.

"Dik...?" panggil Vira pelan.

Remaja itu tersentak kaget, menoleh ke arah Vira dengan mata lebar. Dia terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya berteriak, "MAMAAAA, HANTUUU!"

Vira refleks menutup kedua telinganya. Apa anak ini gila?! Yang benar saja, aku diteriaki hantu!

"Hei! Kamu siapa?" Vira mulai menanyakan serentetan pertanyaan dengan nada bingung. "Kok bisa ada di sini? Kamu masuk lewat mana?"

Theo—remaja itu—perlahan menyadari bahwa gadis di depannya tidak melayang di udara. Kakinya menapak di lantai, manusia. Bukan hantu. Ketenangan sedikit kembali ke wajahnya.

MR. DIRK (up again GITM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang