Bab 6 ( Better Version )

7K 902 83
                                    

Setelah mendatangi rumah Pak Herman, Vira melanjutkan perjalanannya menuju rumah Bi Narsih, mantan pembantu dan saksi hidup dari rumah angker yang kini ditinggalinya. Sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang mengisi ruang di dalam mobil, membuat suasana semakin mencekam.

Di secarik kertas di tangannya tertulis alamat jelas rumah Bi Narsih: Jalan Cipaganti, nomor 16, Kota Bandung. Jalan Cipaganti terkenal sebagai salah satu jalan angker di kota ini. Pohon mahoni yang menjulang tinggi dan bangunan peninggalan Belanda di sekitarnya menambah nuansa mistis yang selalu melekat pada jalan tersebut.

Konon katanya, ada sosok hantu tanpa kepala yang sering terlihat di sekitar kantor pos Cipaganti. Dan jika ada yang berani, mereka bisa mencoba melewati jalan ini saat jam menunjukkan pukul 01:00 malam untuk menyaksikan kehadirannya.

Vira melaju perlahan, memperhatikan nomor-nomor rumah yang tertera di gerbang. Jalanan begitu sepi, hanya angin malam yang sesekali berdesir. Dia melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 00:34 tengah malam. Napasnya mulai terasa berat, kelelahan dan kurangnya penerangan membuat perjalanannya terasa lebih panjang dari seharusnya.

Tiba-tiba, mesin mobilnya mati. "Sial! Kenapa lagi ini?" gerutunya, mencoba menstarter ulang, namun mesin tetap tak menyala. Frustrasi, Vira memukul setir dengan kesal. Saat dia menunduk, suara kucing bertengkar memecah keheningan. Refleks, Vira menoleh ke kanan dan kiri, merasa ada sesuatu yang mengintai.

Saat dia mengangkat kepalanya kembali, darahnya langsung membeku. Sosok hantu tanpa kepala berdiri di depan mobilnya. Sosok itu tampak jelas meski di tengah kegelapan. "AAAAAAKKHH!! MAMAA!" Vira menjerit, menutup matanya rapat-rapat sambil gemetar ketakutan.

Ketukan tapal kuda terdengar semakin mendekat, iramanya yang berirama cepat membuat jantung Vira berdegup kencang. Dengan ragu, ia membuka matanya sedikit dan melihat ke samping. Hantu tanpa kepala lain—yang sudah sering mengikutinya—berada di sana, menunggang kuda hitam dengan mata merah menyala. Dengan gerakan cepat, hantu ini melesat ke arah hantu tanpa kepala Cipaganti, menantangnya dalam pertarungan.

Di tengah jalan yang sunyi, kedua sosok tanpa kepala itu saling berhadapan, masing-masing menyerang dengan kecepatan dan kekuatan yang tidak manusiawi. Sementara itu, Vira hanya bisa duduk di dalam mobil, menyaksikan pertarungan mengerikan itu, tak mampu melakukan apa pun selain berharap semua ini segera berakhir.

Tak lama kemudian, muncul lima sosok tentara Belanda, lengkap dengan senapan laras panjang, menghadang hantu tanpa kepala Cipaganti. Vira hanya bisa terpaku, menyaksikan adegan horor yang berlangsung di depannya.

Tepat saat jam menunjukkan pukul 01:00, keributan itu berakhir. Hantu-hantu tersebut, termasuk tentara dan hantu tanpa kepala Cipaganti, lenyap entah ke mana. Vira menghela napas lega. Jam sudah terlalu larut untuk melanjutkan perjalanan, dan akhirnya ia memutuskan untuk menginap di hotel terdekat.

Setelah menyelesaikan proses check-in, Vira berjalan menuju lift. Saat pintu lift terbuka, seorang pria tampan berdiri di dalamnya dengan postur tegap. Vira masuk, berdiri di sampingnya, dan menekan tombol lantai 4.

Sesampainya di lantai 4, pria itu ternyata ikut turun bersama Vira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesampainya di lantai 4, pria itu ternyata ikut turun bersama Vira. Tanpa menaruh curiga, Vira melangkah menuju kamarnya, lelah setelah perjalanan panjang.

Begitu masuk kamar, tubuhnya langsung direbahkan ke atas tempat tidur. Jam sudah sangat larut, dan matanya terasa begitu berat. Dalam hitungan detik, Vira pun terlelap, tak menyadari sebuah suara berbisik lembut di kejauhan.

"Selamat tidur," ucap Dirk, meski ia berada jauh dari sana.

***

Jam menunjukkan pukul 09:50 ketika Vira check-out dari hotel. Ia segera melanjutkan perjalanannya menuju rumah Bi Narsih. Kali ini, jalan yang tadi malam begitu sepi kini mulai ramai oleh aktivitas pagi.

Akhirnya, Vira menemukan rumah Bi Narsih, sebuah rumah yang tampak asri dengan banyak pepohonan di pekarangan, dan arsitekturnya yang klasik menambah kesan kuno namun sejuk.

Vira turun dari mobil, berjalan menuju pintu depan. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia mengetuk pintu dengan tenang.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi..." Vira mencoba memanggil, berharap ada jawaban dari dalam.

Tak lama, pintu kayu itu terbuka, memperlihatkan seorang gadis muda dengan ekspresi bingung karena kedatangan tamu sepagi ini.

"Maaf, Teteh siapa ya?" tanya gadis itu, sopan.

"Saya Vira," jawab Vira dengan senyum ramah. "Saya sedang mencari Bi Narsih. Apa benar ini rumahnya?"

Setelah berjabat tangan, gadis itu mengangguk. "Betul, tapi Nenek sudah meninggal dua tahun yang lalu."

Kata-kata itu membuat Vira terdiam. "Oh... begitu. Sebenarnya saya ada urusan, tapi kalau beliau sudah meninggal..."

Dari dalam, seorang perempuan paruh baya muncul, menatap mereka dengan penuh minat. "Siapa, Rahma?"

"Ini, Bu, sedang mencari Nenek. Tapi Nenek kan sudah meninggal dua tahun lalu," jelas Rahma.

"Mari, Nak, duduk dulu," ajak perempuan itu sambil mempersilakan Vira duduk di bangku teras. "Rahma, tolong ambilkan minum, ya."

"Iya, Bu," sahut Rahma sebelum beranjak masuk.

Vira duduk di kursi rotan, merasakan sejuknya angin pagi yang bertiup lembut. "Ada urusan apa, Nak, mencari ibu saya?" tanya ibu itu sambil tersenyum ramah.

"Panggil saya Vira saja, Bu," ujar Vira. "Saya ingin bertanya, apakah benar Bi Narsih dulu pernah bekerja di rumah ini?" Ia menunjukkan foto rumah tua miliknya.

"Oh, iya, benar. Ibu saya sudah lama bekerja di sana," jawab perempuan itu sambil melihat foto tersebut. "Tapi sejak pemilik aslinya meninggal, beliau berhenti."

"Kalau boleh tahu, Bu, kenapa pemilik asli rumah itu meninggal?" tanya Vira hati-hati.

"Wah, menurut ibu saya, pemiliknya dibantai oleh warga sekitar," jawab ibu itu, suaranya berubah agak berat. "Ibu saya tak bisa menolong karena dicegat warga, padahal majikannya orang baik."

Vira mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya, mencatat dengan cermat informasi yang baru ia dengar. "Ada hal lain yang ibu ketahui tentang rumah itu?"

Rahma datang membawa dua gelas teh hangat, lalu kembali masuk ke dalam rumah. "Kurang tahu ya, Nak. Tapi seingat saya, ibu saya pernah menulis harian ketika bekerja di sana. Diminum dulu tehnya, nanti saya ambilkan."

Vira mengangguk dan menyeruput teh hangat itu, merasakan ketenangan sesaat. Tak lama kemudian, perempuan itu kembali, membawa buku catatan usang berwarna hitam yang tampak telah berusia puluhan tahun.

"Ini, Vira," katanya sambil menyerahkan buku itu. Vira meraihnya, merasakan energi yang terasa begitu berat dari benda tersebut.

"Boleh buku ini saya bawa, Bu?" tanya Vira dengan penuh harap.

"Tentu, silakan," jawab perempuan itu. "Saya rasa kamu lebih membutuhkan buku itu daripada kami."

"Terima kasih banyak, Bu," ucap Vira penuh syukur. Namun, ketika ia hendak membuka buku itu, perempuan tadi tiba-tiba menunjuk ke arah gerbang rumah. "Ngomong-ngomong, siapa pria yang duduk di kap mobil di sana ya?"

Vira menoleh, dan hatinya berdebar kencang. Pria yang ada di lift hotel semalam sekarang duduk di kap mobilnya, menatap lurus ke arahnya. Kenapa dia ada di sini? Bagaimana mungkin dia tahu keberadaan Vira? 




....

Follow my insta : z.way11

SilviyaniRahayu🐣

MR. DIRK (up again GITM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang