Bab 13 ( Better Version )

5.5K 704 40
                                    

Dios teringat pesan terakhir pamannya sebelum dirinya dijadikan objek penelitian. "Dios, paman taruh kunci cadangannya di laci ini, agar kamu bisa keluar dari sini dengan mudah. Ingat, di laci. Oke!" Pesan itu terngiang kembali di benaknya. Kini, dengan tubuh lemas karena kelaparan dan perasaan putus asa, Dios merangkak menuju laci yang dimaksud. Tangannya bergetar saat ia berhasil menemukan kunci tersebut.

Masih seperti dulu. Kunci itu seakan menjadi harapan satu-satunya.

Dengan susah payah, Dios berjalan tertatih menuju pintu. Ia memasukkan kunci ke dalam lubangnya, dan dengan sekali putaran, terdengar bunyi yang begitu dinantikannya.

Klek!

Pintu terbuka. Dios mendesah lega. Namun, ia segera menyadari bahwa lorong bawah tanah itu begitu berliku untuk bisa mencapai permukaan. Ini bukan sekadar ruangan bawah tanah biasa—ini adalah labirin kematian.

***

Di atas, Gavin, Theo, dan Ardi berdiri gelisah di depan rumah Vira, siap melakukan aksi paranormal yang mereka rencanakan. "Eh, tunggu dulu," suara Ardi menghentikan langkah Gavin dan Theo yang sudah penuh percaya diri. Mereka berdua memutar badan, menatap Ardi yang berdiri di belakang dengan wajah cemas.

"Apa lagi sih, Di?" Theo bertanya dengan nada kesal.

"Anu... perasaan gue gak enak," gumam Ardi dengan nada takut.

Gavin melirik jam tangannya dan mendengus. "Gak enak gimana? Udah jam dua belas, bro. Ayo cepetan nyalain kameranya, ini udah waktunya."

Dengan tangan gemetar, Ardi akhirnya menyalakan kamera, mengarahkan lensanya ke dua temannya yang sudah siap sejak tadi.

"Yoo! What's up, guys! Sekarang udah jam dua belas malam, sesuai rencana kita dari awal," Gavin membuka dengan gaya khasnya, mencoba terlihat berani di depan kamera. "Kita bakal uji nyali di rumah ini, kan, Theo?"

"Bener banget, seperti yang bisa lo lihat, suasananya udah serem. Tapi ini baru depan rumahnya, guys. Kita bakal coba masuk ke dalam. Eh, hati-hati," bisik Theo, mendekatkan bibirnya ke kamera. "Suasananya udah mulai berubah."

Krieeet!

Gerbang besar itu terbuka dengan suara mencekam. Di dalam rumah, Dirk sudah memberi aba-aba kepada Ares, yang melesat seperti bayangan gelap melewati Ardi. Ardi yang sedang memfokuskan kameranya ke arah Gavin dan Theo tiba-tiba merasakan hembusan angin dingin yang menyeramkan.

"Heuuh... apa tuh?!" Ardi panik, kameranya goyah dan gambar di layar langsung blur.

Gavin dan Theo langsung menghampiri Ardi yang terdiam di tempat, matanya melotot ke segala arah. "Kenapa, bro?" tanya Theo, bingung melihat Ardi yang ketakutan.

"Ada apa?" Gavin menimpali dengan nada cemas.

"Tadi... tadi ada yang lewat di belakang gue, sumpah! Kenceng banget, bro!" Ardi berbicara terbata-bata, setengah ketakutan.

Theo mengambil alih kamera Ardi, memandang sekeliling. "Gak mungkin orang, bro. Jam segini? Siapa yang bakal ada di sini jam dua belas malam?"

Gavin berusaha menenangkan Ardi, meletakkan tangan di pundaknya. "Tenang, bro, tenang. Mungkin cuma perasaan lo."

Namun, ketegangan di udara semakin tebal. Theo mengarahkan kamera ke sudut lain, merekam pepohonan, jendela lantai dua rumah, hingga berhenti di pojok tembok depan rumah. Di sana, sosok Dirk berdiri dengan senyum lebar, tubuhnya dipenuhi luka tembak dan tusukan, darah mengucur deras, membasahi seluruh badannya.

Ardi terperangah, napasnya terhenti. "Lo... lo ngeliat itu gak?" bisiknya dengan suara bergetar.

Gavin dan Theo menoleh ke arah kamera, dan saat itu juga, ketiganya diselimuti ketakutan yang luar biasa. Dirk tersenyum lebih lebar, memperlihatkan luka-luka yang mengerikan di seluruh tubuhnya, seolah menyambut mereka ke dalam mimpi buruk yang tak berujung.

MR. DIRK (up again GITM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang