Bab 22

4.1K 607 301
                                    

Tahun 1940.

Kekuasan Netherland di Hindia Belanda sebentar lagi akan berakhir, santer terdengar bahwa para Tentara Nippon akan segera menginjakan kakinya di Hindia Belanda, dan membunuh siapa saja yang menghalangi mereka atau yang tidak bersalahpun akan menjadi korbannya.

Sore itu Dirk sedang membaca koran harian Hindia Belanda, yang tadi pagi tak sempat ia baca, berita yang cukup membuat panik. Tapi Dirk yakin itu tak akan terjadi, setidaknya dalam waktu dekat ini.

Matanya beralih ke luar jendela, sore yang cerah. Perlawanan rakyat Hindia Belanda semakin menemui titik terang, dimana di beberapa wilayah Tentara Netherland kalah telak dalam perang. Apalagi Jendral Sudirman yang menerapkan strategi Perang Geriliya membuat Tentara Netherland mulai kewalahan.

Berita-berita tentang kemerdekaan terus di siarkan di radio-radio Nasional, Bung Karno tak henti-hentinya berpidato membakar semangat para pemuda di seluruh penjuru negeri untuk kembali bangkit melawan. Dirk tak pernah membela siapapun, tapi ia salut pada negeri ini, tak ada kata pantang menyerah dan putus asa dalam hati mereka.

Selalu yakin dan terus bersemangat.

Dirk masih betah di ruangannya, secangkir teh hangat tadi sudah menjadi teh anyep. Tidak panas, hangat ataupun dingin. Ia rindu Den Haag, surat yang kemarin baru saja ia kirim kesana semoga cepat sampai, ia rindu Kakeknya apalagi kedua Orangtuanya.

Terlihat Dios di taman belakang sedang bermain Biola kesayangannya, lantunan musik yang keluar begitu merdu, membuat siapa saja yang mendengarnya akan merasa tenang dan menikmati.

Suara pintu terdengar dibuka, Ares masuk dan berdiri disana. Menunduk sebentar lalu berjalan pelan ke arah meja kerja Dirk. "Sore ini Tuan harus ke kebun Teh. Mengecek semuanya, terakhir kali kita kesana bulan kemarin kan? Hari semakin gelap takutnya kita sampai sana terlalu malam."

Dirk mengalihkan pandangannya ke Ares, lalu mengangguk kecil. "Siapkan semuanya, sekalian kita menginap disana selama seminggu."

..

Dirk dan Vira sedang berbaring nyaman di atas kasur, Vira mengelus-elus perutnya yang masih rata. "Dirk, apa kamu gak inget masa lalu kamu? Aku masih penasaran sama rumah ini dan segala yang ada di dalamnya."

"Ingat sedikit, selebihnya lupa. Aku hanya ingat saat dibunuh, sewaktu pertama kali datang kesini dan eum, sedikit potongan ingatan saat aku tinggal disini"

"Kamu dibunuh oleh Nippon, lalu sewaktu hidup kamu ngapain aja?"

"Seingatku, mengurus perkebunan Teh milik kakek. Menghadiri acara orang-orang penting Netherlands disini, dan begitu saja, mengurus bisnis."

Vira berbalik menghadap Dirk dan mengadah, "pacaran sama Fatimah?" Goda Vira.

Dirk langsung salah tingkah dan tersenyum kecil. "Iya itu juga, gak sering kok. Kalau ketemu waktu yang pas aja dan kalau ketemu Fatimah"

Hantu tampan itu mengelus rambut Vira sayang, lalu mengecupnya sebentar. "Apa nama yang cocok untuk anak kita nanti ya?" Ujar Dirk.

"Kalo cewek namanya Vania Larasati aja" usul Vira.

"Terlalu Hindia Belanda namanya, harus ada Netherlands-nya. Vania Joost Wigburg Euginius"

"Panjang amat" tawa Vira, Dirk lalu tersenyum kecut.

"Artinya sangat bagus, seorang anak dari ibu bernama Vira yang memiliki sifat adil dan tidak berat sebelah, seorang pemuda keturunan bangsawan."

Vira kemudian langsung bertepuk tangan, Dirk sangat lihai merangkai nama rupanya. Hantu tampan itu hanya tertawa kecil, melihat tingkah lucu pasangannya.

MR. DIRK (up again GITM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang