Rabu (14.41), 14 November 2018
---------------------
Siang itu yang Carissa lakukan adalah menunggui Fachmi hingga menjelang sore. Sesekali dia menyeka titik-titik keringat di tubuh Fachmi lalu membersihkan apartemen itu untuk menghabiskan waktu. Tadinya Carissa mencoba menonton tv dan membalas pesan-pesan chat di media sosial. Tapi hal itu tidak berhasil mengalihkan perhatiannya dari Fachmi hingga pikirannya terus tertuju pada lelaki itu.
Sekitar jam empat sore, Fachmi belum juga sadar. Bahkan setelah Carissa selesai mandi, dia masih berbaring dengan posisi yang sama. Perasaan cemas semakin menggelayuti hati Carissa. Apa sebaiknya dia menghubungi Om Gabriel atau orang tuanya?
Carissa berjalan mondar-mandir sambil menggigiti kuku ibu jarinya. Sebuah tekad terbentuk dalam benak Carissa. Jika sampai waktu makan malam Fachmi belum juga sadar, dia akan menelepon Om Gabriel dan-mungkin-orang tuanya juga.
Lalu sekarang apa yang harus dirinya lakukan?
Carissa duduk perlahan di sisi ranjang. Tatapannya tertuju pada wajah tenang Fachmi. Ia akui, perasaan cemasnya ini bukan karena dirinya memiliki perasaan khusus kepada lelaki yang telah menjadi suaminya itu. Melainkan cemas karena takut disalahkan jika terjadi sesuatu pada Fachmi. Hal itu membuatnya kembali berpikir, akan seperti apa jadinya pernikahan mereka kelak? Apalagi tidak ada perjanjian di antara mereka. Mereka dijodohkan, lalu menjalani pernikahan ini seperti pernikahan pada umumnya meski sampai detik ini Fachmi belum memaksanya memenuhi kewajiban sebagai seorang istri.
Akankah perceraian menjadi pilihan mereka nantinya? Atau mereka bisa hidup bersama selamanya hingga maut memisahkan meski tanpa cinta?
Jemari Carissa terangkat lalu telapaknya menangkup kening Fachmi. Tidak panas. Tapi keringatnya masih mengucur walau tidak banyak. Padahal AC dalam ruangan itu cukup untuk menyejukkan badan yang gerah. Apa Fachmi masih kesakitan, ya?
Carissa mendesah. Andai sedikit saja dia tahu apa yang harus dilakukan saat merawat orang sakit. Tentu dirinya tidak akan merasa tidak berguna seperti ini. Lalu beberapa detik kemudian, Carissa terbelalak saat teringat sesuatu.
Makan malam!
Apa yang harus dirinya lakukan sekarang? Fachmi perlu makan malam yang sehat. Bukan makanan instan. Carissa ingat minimarket tempat mereka berbelanja tadi pagi juga menjual sayuran dan daging segar. Tapi bagaimana cara memasaknya? Bisa-bisa bukan menyehatkan Fachmi. Carissa malah meracuni Fachmi dengan masakan karya tangannya.
Panik, Carissa kembali mondar-mandir. Tapi kemudian dia menepuk kepalanya sendiri karena merasa bodoh. Dirinya kan tidak hidup zaman purba atau penjara. Dia tinggal pesan makanan. Kenapa tidak terpikirkan hal itu dari tadi?
Segera Carissa menyambar ponselnya lalu mencari tahu restoran terdekat yang menggunakan jasa food delivery. Setengah jam kemudian, makanan yang dipesannya sudah tertata di meja makan. Tapi lalu, Carissa mengutuki diri sendiri karena dia memesan makanan terlalu cepat padahal jam makan malam masih lama. Yah, sudah terlanjur. Tidak ada pilihan lain selain menghangatkannya lagi nanti.
Selesai menyimpan makanan yang tadi sudah terhidang di atas meja, Carissa kembali ke kamar sambil membawa bak kecil yang kemudian ia isi air. Sambil duduk di sisi ranjang, Carissa dengan susah payah melepas kaus yang Fachmi kenakan. Setelahnya ia mencelupkan handuk kecil ke dalam air di bak lalu mengusapkannya ke tubuh Fachmi, mulai dari leher terus ke dadanya.
Awalnya sedikit risih dan malu hingga wajah Carissa memerah. Tapi perasaan itu lambat laun menguap. Dia sendiri tidak mengerti mengapa, tapi merawat Fachmi seperti ini tidak seburuk yang ia duga sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accidentally Wedding (TAMAT)
Romance[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Fachmi tidak tahu apa yang menarik dari seorang Carissa Aldira Prayoga. Dia hanyalah gadis SMK dengan tubuh rata tak berlekuk. Sama sekali bukan tipe Fachmi dan dirinya yakin tidak merasakan hal konyol yang disebut...