Cattus, Mus, Canis

264 37 3
                                    

Hyunwoo saat itu sedang sibuk menonton acara televisi kesukaannya saat ia masih berumur 10 tahun. Entah bagaimana caranya setelah sekian puluh tahun tidak melihat kartun kesenangannya itu, Hyunwoo bagai terhipnotis. Ia tidak mengedip hingga sekian lama, Hoseok mulai mengkhawatirkan sahabatnya itu. Hoseok berkali-kali memanggil nama Hyunwoo, tetapi ia tidak menoleh. Matanya benar-benar terpaku pada layar televisi, tidak memedulikan sekelilingnya.

Ponsel Hyunwoo berdering dengan lantang, entah apa yang terjadi, tetapi saat Hoseok mencoba untuk menghiraukannya, ponsel itu tak pernah berhenti bordering, bahkan terdengar makin keras. Hoseok bangkit dari sofanya, mengomel pelan dan berjalan untuk mengambil ponsel Hyunwoo yang diletakkan di atas meja. Ia melihat siapa yang menelpon Hyunwoo di larut malam dan ia tidak begitu terkejut saat melihat nama Changkyun dengan gambar hati mengapit namanya itu menjadi sang penelpon.

"Hyunwoo," panggil Hoseok, menyodorkan ponsel Hyunwoo pada pemiliknya, "Changkyun menelponmu,"

"Oh," Hyunwoo menjawab singkat, meraih ponselnya, tetapi matanya tetap saja sibuk menikmati gambar dinosaurus ungu yang sedang menari dengan anak-anak dengan bahagia, "halo?"

"Hyunwoo hyung, apakah kau bersama Tuan Shin?" suara Changkyun terdengar begitu serak, begitu tersengal-sengal.

"Hoseok? Ya, aku bersamanya, ada apa?"

"Bisakah kalian datang ke bar sekarang? Tampaknya, Kihyun hyung sedang dalam bahaya...."

"Kihyun? Dalam bahaya, katamu? Lalu, mengapa kau menghubungiku, Changkyun? Kau tidak bercanda, bukan?"

"Aku tidak pernah memiliki kontak Tuan Shin, hyung." Changkun menghela napas panjang. "tidak ada waktu untuk berdebat. Intinya, lebih baik kalian segera datang kemari."

Kemudian, dengan begitu saja Changkyun mengakhiri panggilannya. Ia meninggalkan tanda tanya besar pada kedua laki-laki itu. Changkyun terdengar serius, ia tidak sedang bercanda, tapi mengapa? Hoseok tidak terlalu mengenal Changkyun sebagaimana Hyunwoo mengenal Changkyun dari luar dan dalamnya—ini bukanlah candaan terselubung, walaupun Hyunwoo memang telah mengenali titik kenikmatan dalam tubuh Changkyun—tetapi ia tahu bahwa ia tidak boleh menghiraukan perintah Changkyun.

"Mungkin kita memang harus segera ke sana," gumam Hoseok seraya menggigit kukunya yang tumpul.

"Aku akan menyetir." Hyunwoo bangkit dan mulai mengambil jaket, kunci mobil, dompet, dan ponselnya. "Aku tidak ingin menjadi korban dari cara menyetirmu yang sangat ceroboh."

"Selama kau dapat mempercepat laju mobil hingga hampir menyentuh angka 200 pada penunjuk kecepatannya, maka aku akan membiarkanmu mengendarai mobilku selama seminggu," ucap Hoseok.

"Setuju,"

Dengan dibuatnya perjanjian tak masuk akal itu, Hoseok segera melompat ke dalam mobil, dalam hati ia berdoa agar Kihyun baik-baik saja. Ia tahu hubungan mereka sudah berakhir, tetapi tidak ada salahnya bila ia mengkhawatirkan sang penari yang pernah memiliki hatinya—dan maksud dari kata pernah adalah masih. Hoseok bermain dengan jari-jarinya, menyeka keringat pada telapak tangannya berkali-kali. Ia tak berani menatap ke depan, bagai ia belum siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Jalanan kota Seoul sudah sepi. Lampu jalan menyapa pandangannya dan menuntunnya pada jalan dimana ia akan bertemu dengan Kihyun. Jantungnya berdetak dengan cepat, berlomba dengan mobil yang ia dan Hyunwoo kendarai.

Changkyun membalut dirinya dengan mantel tebal cokelat muda, berdiri tepat di depan pintu masuk Masculus de Caelo. Setiap embusan napasnya membuat asap dingin yang kemudian hilang bersatu dengan udara dingin Seoul. Ia menatap jalan, berharap ia akan melihat Hyunwoo dan Hoseok sesegera mungkin. Rasanya bila ia harus menunggu beberapa menit lagi, ia akan segera menarik rambutnya dan menguliti dirinya.

Vanilla, Diamond, Liquor ; s.hs + y.khTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang