Adminicula Fratribus

281 34 7
                                    

Kaki kecilnya berlari menyusuri lorong dengan lantai berlapis karpet dan pencahayaan minim tersebut. Dengan sekuat tenaga, Yoo Kihyun, mencoba untuk mengejar sesuatu yang tidak hidup, namun bergerak dengan amat cepat. Waktu. Tepat tiga puluh menit yang lalu, ia sedang berbaring lemah di atas tempat tidur, lengkap dengan pakaiannya. Rambutnya berantakan akibat cengkeraman tangan Yoongi yang mengendalikan kepalanya untuk memuaskan dirinya sendiri. Yoongi telah pergi meninggalkan seikat uang yang tak terhitung jumlahnya. Kihyun bisa saja menghitung setiap nominalnya dengan perlahan pada saat itu, tetapi hatinya berkata lain. Tubuhnya tak ingin tinggal di dalam kamar dipenuhi aroma birahi itu lebih lama lagi. Ia tidak ingin menghirup wangi parfum mahal milik Yoongi. Ia hanya ingin kebebasan. Kihyun ingin berlari dengan kaki telanjang, melemparkan tubuhnya pada seseorang yang telah menantinya di luar sana, dan yang terpenting, ia ingin menghirup aroma pria yang telah memikat hatinya.

Bagai ikan di tengah lautan, Kihyun menghindari setiap orang yang berada di jalannya dengan luwes. Senyum lebar terukir di wajahnya, hingga ia telah sampai di bar dan tidak menemukan Tuan Shin. Napasnya tersengal, dadanya mengembang dan mengempis dengan kasar. Ia tidak percaya bahwa Hoseok telah pergi. Matanya terus mencari sosok yang ia kenali hingga ke sudut-sudut ruangan yang bahkan tidak tersentuh oleh cahaya lampu remang.

"Jooheon," panggil Kihyun, sesekali mencoba untuk mengatur napasnya, "kemanakah Tuan Shin pergi?"

"Hyung, ia sudah pulang,"

"P-pulang?" Kihyun tidak dapat menahan dirinya untuk mempertanyakan hal tersebut, "tapi, jam baru saja menunjukkan pukul satu,"

"Entahlah, ia tidak meninggalkan pesan apa-apa. Ia hanya mengatakan bahwa ia akan pulang,"

Sorot mata Kihyun pun jatuh, tampak sendu akibat kekecewaan yang menyelimuti dirinya. Ia tahu sebenarnya tidak ada yang harus ia sesali. Sebuah kewajibannya untuk melayani tamu yang telah membayarnya. Lalu, untuk apa ia menyisakan ruang di hatinya bagi perasaan kecewa?

"Apa yang sedang kau pikirkan, Yoo Kihyun?"

Sebuah tangan hangat menyentuh pundaknya yang telah merosot. Hyojung adalah pemiliknya. Wanita itu menatap Kihyun dengan mata lembut, bagai mengerti perasaan yang dipendam Kihyun. Senyum penuh kasih pun ia berikan pada pemuda yang bekerja padanya sebagai penari erotis.

"Noona," gumam Kihyun yang sempat terperanjat akan kontak fisik yang diberikan secara mendadak, "aku tidak sedang memikirkan apa-apa,"

"Aku tidak pernah mengajarimu untuk berbohong, bukan?"

"Aku tidak berbohong, noona,"

"Apakah kau sedang sedih?"

Kihyun benci bagaimana wanita satu ini dapat membaca pikirannya dengan mudah. Sekali lihat, maka ia akan mengerti semua isi hati Kihyun bahkan yang terdalam sekali pun. Untuk kali ini, dengan alasan Kihyun tidak ingin memperpanjang debat di antara keduanya, maka ia mengangguk. Hyojung menatapnya dengan lembut lagi. Ia tidak pernah mengalihkan pandangannya dari Kihyun, membuat pemuda itu berdiri dengan kedua lutut yang lemas.

"Apakah kau ingin menceritakannya padaku?"

Kihyun hanya menggeleng. Ia sedih, tetapi bukan berarti ia dapat menceritakan perasaannya yang begitu berdosa kepada majikannya sendiri. Mencintai pelangganmu bukanlah hal yang wajar. Ini adalah hal yang memalukan, begitu pikir Kihyun. Pikirannya itu membuat dirinya tidak berani untuk menyatakan perasaannya pada siapa pun, bahkan pada Hoseok.

"Baiklah, bila demikian, kurasa kau perlu mengganti pakaianmu dan membersihkan wajahmu. Aku menyukaimu saat kau tampil menawan seperti ini, tapi aku lebih menyukai wajahmu yang asli, tanpa bedak itu,"

Vanilla, Diamond, Liquor ; s.hs + y.khTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang