2

4K 191 5
                                    

Dengan kaki terjuntai, Rania duduk di tepi ranjang. Sibuk berdialog dengan jantungnya yang tak juga bisa diajak kompromi untuk berdetak normal. Seumur-umur ini pertama kali dirinya harus berinteraksi sangat dekat dengan makhluk bernama lelaki. Satu kamar pula!

Bekas lengan Shem masih saja terasa lekat di badannya. Dalam gendongan pria itu, untuk pertama kalinya pula Rania bebas melihat wajah Shem begitu dekat. Ya, ampun ...! Pria itu memang memikat.

Shem keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan wajah yang tampak lebih segar. Kembali ia melempar senyum kepada Rania yang tengah mencuri pandang ke arahnya.

"Sudah salat Isya?" tanya Shem. Rania menggeleng lalu menunduk. "Nunggu aku?" Rania mengangguk pelan.

Shem beranjak mengambil sajadah lalu menggelarnya tak jauh dari ranjang. Rania segera memakai mukena dan mengambil tempat di belakang suaminya.

Beberapa saat, Shem tak juga memulai salatnya. Lelaki itu tampak gusar lalu membalikan badan dan tersenyum samar.

"Ini pertama kalinya aku jadi imam. Mana makmumnya cantik lagi. Jadi, maaf ya kalau sedikit grogi," jujur Shem kikuk. "Ditambah bacaan salatnya pun mungkin agak kacau."

Jadi, itu penyebabnya?  Rania mengulum senyum. Kegantengan Shem mendadak turun satu strip.

"Sebisanya saja. Suratnya pilih yang pendek. Anggap saja lagi salat sendirian," sahut Rania mencoba menenangkan.

Shem maju beberapa langkah lalu mengecup pucuk kepala Rania singkat. "Ini PR kamu sebagai istriku kelak."

Shem kembali ke tempatnya lalu memulai takbiratul ihram, sedangkan Rania masih sedikit kaget dengan kecupan singkat itu. Ditatapnya punggung Shem yang tengah melantunkan awal surat Al-Fatihah. Bacaannya membuat Rania ingin mengurut dada. Gadis itu segera tersadar dan langsung mengangkat tangan ketika Shem sampai pada ayat ke-5 Surat Al-Fatihah.

Selesai salam, Shem kembali memutar badan. "Sini lebih dekat. Aku perlu menyentuh ubun-ubun kepalamu untuk berdoa."

Rania tak membantah. Duduknya bergeser, mengikis jarak.

"Aku baru membaca hal ini beberapa hari yang lalu. Katanya sangat dianjurkan oleh pasangan yang baru menikah."

"Sudah hafal doanya?" tanya Rania. Shem merogoh saku celana panjangnya dan mengeluarkan secarik kertas.

"Boleh nyontek kan, ya? Ada dua yang kutulis di sini. Satu untuk hal ini, satunya lagi untuk ...."

"Cepat bacakan !" potong Rania sambil menyodorkan kepalanya.

"Kamu ga mau denger lanjutannya?" goda Shem. Rania menggeleng cepat. "Satunya untuk doa bercermin. Aku belum hafal doanya. Kan biar kegantenganku harus disyukuri setiap bercermin?" Shem terkekeh. Sementara kepala Rania semakin tertunduk.

"Kalau yang itu sih aku sudah hafal," lanjutnya lagi sambil mengerling nakal.

"Shem!" teriak Rania. Ditegakan lagi kepalanya, lalu sedikit menjauh. "Jadi ga ngasih doanya?"

"Iya, jadi."

Shem yang memilih bergeser dan meletakan tangan kanannya di puncuk kepala Rania. Sebuah doa pun terlantun.

"Allaahumma innii asaluka khayraha wa khayra maa jabaltahaa 'alaihi wa a'uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa 'alaihi.

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya.

Ya Allah, tumbuhkanlah cinta antara aku dan istriku, Rania. Sebuah cinta yang akan bermuara kepada kecintaan kami kepada-Mu. Aamiin."

Rania tak kuasa menitikkan air mata. Inikah rasanya disebut dalam lantunan doa seorang lelaki yang meminta cintanya di atas kecintaan kepada Sang Pemilik Cinta?

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang