9 b

2.5K 110 0
                                    

Kafe D'Orange masih tampak lengang. Hanya ada karyawan dan beberapa tamu yang memerlukan sarapan di pagi hari.

Retaz sedang berbicara dengan gadis di meja kasir ketika Rachel datang dengan muka ditekuk.

"Aku ingin sarapan. Pancake topping buah sepertinya enak," pintanya tanpa sungkan.

Retaz menggelengkan kepala. Kalau Rachel sudah memintanya dibuatkan makanan manis, itu tandanya gadis itu sedang gelisah.

"Duduklah! Akan kami buatkan."

Retaz menghampiri Rachel yang sedari tadi memainkan ponselnya di meja mini bar.

"Kenapa? Ada masalah? Aku kira pertunjukanmu sukses."

Rachel menunjukkan salinan percakapannya dengan Rania sebagai jawaban.

Retaz membaca sebentar lalu terbahak.

"Astaga! Kau mau merebut Shem? Dunia ini sudah cukup kejam tanpa pelakor." Retaz senyum dikulum.

"Aku putus asa," desahnya. "Kamu sendiri? Bukankah kamu juga menyukai Rania?"

Retaz menerima pancake yang diberikan salah satu kokinya.

"Aku memang menyukainya, tapi tidak dengan cara merebut kebahagiaannya. Cinta paling menyebalkan di dunia ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan, tapi sesungguhnya tidak ada cinta yang tak sampai, yang ada hanyalah kesempatan memberi yang tertunda."

Rachel hanya memainkan sendoknya di atas pancake.

"Kalau begitu apa yang harus aku lakukan?"

"Cinta itu seperti hukum kekekalan energi. Tidak bisa dimusnahkan, hanya bisa berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Kita hanya perlu mengubah bentuknya. Cintamu yang posesif menjadi cinta yang membebaskan."

Rachel mengangkat alis. Sekejap memandang pemuda itu. Tak mengerti dengan cara berpikirnya.

"Jadi, kamu tidak ingin lagi mengejar Rania?"

Retaz mengangkat bahunya. "Kalau dia bahagia dengan suaminya, aku akan membiarkannya. Dan suatu saat ketika dia sudah tidak bahagia dengan pilihannya, aku akan menawarkan diri untuk membahagiakannya. Aku tidak tahu sampai kapan aku menyimpan harapan itu. Tinggal menunggu waktu, apakah rasa cinta yang kumiliki ini tulus atau hanya sebatas obsesi," pungkasnya.

"Kenapa kalian berdua begitu menyukai gadis itu? Katakan? Apa istimewanya Rania?"

Retaz tampak berpikir sejenak. "Kalau itu aku tidak tahu. Seperti kenapa kau dan Rania menyukai orang yang sama."

Mereka berdua diam sejenak. Asyik dengan pikiran masing-masing.

"Baiklah. Akan kucoba. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku jadi pelakor dan namaku dibully emak-emak se-dunia maya."

Retaz tergelak. Pria itu menyodorkan segelas es jeruk untuk Rachel.

"Adakalanya cinta itu tentang menunggu. Saat seseorang datang dan hati terdalam kita mengatakan bahwa dengan dialah kita ingin menghabiskan jatah usia yang tersisa selamanya."

Seakan terkesima, Rachel terus memandang pria berwajah lembut itu tanpa berkedip.

"Hei, jangan terus memandangiku. Nanti bisa jatuh cinta!" kelakar Retaz.

Rachel membuang muka. Selama ini dia terlalu memikirkan Shem, sehingga tak pernah terpikirkan bahwa masih banyak pria yang mungkin akan menawarkan satu cinta untuknya.

***

Shem mengantar Ustadz Yusuf sampai ke depan pintu. Ia baru saja mengikuti les privat Alqurannya. Shem naik menuju balkon, menghampiri Rania yang tengah duduk menikmati angin sore.

"Gimana belajarnya?" Rania bertanya ingin tahu.

"Kamu ga bilang kalau ustadznya lebih muda," sahutnya tanpa menjawab pertanyaan Rania.

"Memangnya kenapa kalau gurunya masih muda? Nanti ada yang cemburu," seloroh Rania dengan senyum dikulum.

"Harusnya cari guru yang sedikit tua."

"Kalau yang sudah berumur itu rata-rata jam terbangnya sudah tinggi. Jadwal mereka padat, mengisi taklim ke berbagai tempat. Sayang-sayang kalau hanya ngurusin satu murid saja. Nanti kapan-kapan kita ikut kajiannya ya," jelas Rania.

Ya, Rania ingin pelan-pelan saja mengajak Shem. Perubahan yang didasarkan keinginan dan kesadaran sendiri akan jauh lebih bertahan daripada perubahan sekadar mengikuti seseorang.

"Aku ketinggalan banyak hal. Mengeja huruf Hijaiyah saja sangat sulit, bagaimana mau belajar yang lainnya," keluh Shem.

Rania menggeser kursinya lebih dekat. Ia ingin menguatkan hati suaminya.

"Waktu Rasulullah menyebarkan dakwahnya para sahabat banyak yang sudah berumur, tapi apakah lantas mereka terhambat dalam menerima pengajaran Rasulullah? Tidak, Mas. Mereka adalah generasi terbaik di zamannya."

"Semoga aku bisa mengejar ketertinggalanku," ujar Shem penuh harap. "Oh, iya ngomong-ngomong menurutmu lebih baik Khadijah atau Aisyah?"

Rania menyipitkan mata. Heran dengan pertanyaan yang terlontar.

"Kenapa harus memilih? Khadijah dan Aisyah punya perannya masing-masing. Khadijah menemani masa awal perjuangan Rasulullah. Dia memberikan segalanya waktu dakwah ada pada masa-masa sulit. Sedangkan Aisyah, mengisi hari-hari Sang Nabi saat dakwah butuh ekspansi. Perjuangan ketika Islam sudah tersebar dan mulai mengurusi kepentingan masyarakat luas. Aisyah yang cerdas dan juga selalu menghibur, itulah sosoknya."

"Aih pintar sekali istriku. Jadi, boleh dong ada Khadijah dan Aisyah," goda Shem.

Rania berdiri lalu menunduk mensejajarkan diri dengan wajah suaminya.

"Apa tadi pertanyaan jebakan? Boleh saja. Asal kualitasmu sudah mendekati suami Khadijah dan Aisyah," jawab Rania dengan wajah cemberut.

Gadis itu lantas pergi menuruni tangga. Kesal. Ingatan tentang pesan Rachel saja sudah membuatnya murka.

"Rania ...!" Shem memanggil. Tak menyangka Rania akan Semarah itu.

Dicarinya gadis itu ke setiap sudut rumah.

"Rania! Kamu di mana? Jangan sembunyi dong. Jangan marah. Aku hanya becanda saja."

Shem kembali mengecek setiap ruangan. Gadis itu tak ada di mana pun. Shem mulai kehilangan kesabaran.

"Aduh, Sayang ... perutku sakit! Sepertinya gara-gara makanan yang kita pesan terlalu pedas," jerit Shem. Ia berguling di sofa, memegang perutnya.

"Rania ... apa aku harus masuk UGD? Baiklah kalau kamu tidak peduli, jangan menyesal kalau aku mati gara-gara terlambat di bawa ke rumah sakit."

Sekejap kemudian, muncul Rania dengan wajah khawatir.

"Mana perutmu yang sakit? Aku panggil ambulan, ya?"

Rania membuka kaus yang menutupi perut Shem dan mengusapnya pelan.

"Tidak usah. Sepertinya diusap sama kamu nanti juga sembuh."

Bibir Rania mengerucut. Matanya memicing curiga.

"Becanda boleh, bohong jangan! Kamu suka ya membuat aku khawatir?"

"Aku tidak bohong. Perutku memang sakit ... sedikit."

Rania memukul perut Shem keras. Membuat pria itu mengaduh.

"Aduh, sakit! Habisnya kamu main petak umpet lagi." Shem meringis.

"Siapa yang main petak umpet? Dari tadi aku di sana!"

Rania menunjuk sofa bed di depan layar kaca.

"Masa? Aku tadi tak melihatmu?"

"Iya, aku yang melihatmu panik. Baru sebentar aja udah kayak ditinggal seminggu."

Shem mengelus kepala Rania. "Jangan menghilang atau nanti aku cari gantinya ...."

"Shem!" teriak Rania. Dicubitnya pipi Shem hingga meninggalkan lebam di sana.

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang