Nambahin dikit 😉
Di kamar lantai atas hotel Blue Safir, Shem begitu ketat mengawasi Rania. Ia bersikeras melayani semua kebutuhannya seharian ini. Mengambilkan minum, menyisir rambut, juga memaksa memijiti tangan dan kakinya.
“Mulai sekarang kamu tidak boleh terlalu lelah. Kerjaanmu cukup makan dan tidur saja.” Shem berkali-kali mengingatkan. Dimintanya Rania berbaring, lalu menelepon seseorang untuk membawakan makanan.
“Orang hamil itu bukan orang sakit. Jangan berlebihan, Mas. Justru aku butuh bergerak agar sehat.” Rania bangkit dan memilih posisi duduk. Seharian ini Shem kelewat cerewet dan over protektif. “Sampai kapan kita di hotel? Aku ingin pulang.”
Shem mendekat. Tangannya mengusap perut istrinya perlahan.
“Di perut ini ada kehidupan baru. Seseorang yang sudah kurindukan walaupun belum tahu bagaimana rupanya. Kita harus menjaganya baik-baik. Kita pulang besok. Tunggu satu malam lagi.”
“Mas maunya anak kita laki-laki atau perempuan?” Rania bertanya.
“Hampir setiap lelaki menginginkan anak pertamanya adalah laki-laki, tetapi ia tidak akan pernah menolak ketika diberikan anak perempuan. Dan bagiku sama saja. Kehadirannya jauh lebih penting untuk kusyukuri daripada urusan jenis kelamin.”
Shem meraih tangan Rania. Pandangan mereka kembali bertemu.
“Sebelum manusia dilahirkan, mereka berkumpul di alam ruh. Menunggu di keluarga mana mereka akan dilahirkan. Allah sendiri yang kemudian memilih dari rahim mana ia akan ditempatkan. Seandainya manusia diberikan pilihan, mungkin akan banyak permintaan agar mereka dilahirkan dari keluarga macam Bill Gates atau rahim Kate Middleton. Namun sebaik-baik tempat adalah mereka yang dilahirkan dari keluarga muslim. Fitrah keimanan mereka akan mudah tumbuh tanpa harus bersusah payah mencarinya kembali. Lahir dari orang tua muslim adalah salah satu syukur terbesar kita.” Rania menjelaskan.
“Kalau begitu malang sekali ya nasib anak-anak yang diaborsi? Mereka menjadi anak-anak yang tidak sempat dilahirkan. Unborn child. Dia diundang untuk kemudian dihilangkan. Tanpa sempat bertemu dengan pemilik rahim di mana ia ditempatkan.”
Rania mengangguk sepakat. Fenomena yang menyedihkan di tengah kenyataan masih banyaknya pasangan yang ingin dikaruniai keturunan.
“Apa orang hamil cantiknya akan naik berkali lipat?” tanya Shem melihat wajah Rania berubah sendu. Pria itu kemudian mendekatkan wajahnya. “Itu menjadi godaan terbesarku setelah terpisah empat belas hari lamanya.”
“Mas …!”
“Apa? Jangan bilang kalau perutmu mual lagi! Please ya anak Ayah diam dulu. Jangan ganggu Bunda.”
“Mas ….” Rania melirik pintu. Terdengar berulang kali suara ketukan. Rania menahan senyum. “Cepat buka pintunya. Aku lapar.”
Dengan malas Shem membuka pintu. Seorang roomboy mendorong meja berisi banyak makanan. Shem mengambil alih dan membawanya ke dekat Rania.
“Cepat makan, Sayang. Aku pesankan banyak makanan untukmu. Harus dihabiskan.”
Mata Rania terbelalak. Shem memesan makanan terlalu banyak. Aneka sup, bermacam seafood, salad sayur dan buah, juga puding dan eskrim sebagai makanan penutup.
“Aku memang hobi makan, tapi ini terlalu banyak, Mas!”
Shem terkekeh. Ia sibuk menaruh nasi dan lauk pauk di piring. Tangannya menyendok satu suap nasi ke mulut Rania.
“Aku suapin, ya! Mumpung aku lagi baik.”
Rania membuka mulutnya. Membiarkan lelaki itu menyuapinya.
“Kamu juga makan dong, Mas. Mau aku suapin juga?”
Shem menggeleng. “Aku belum lapar. Nanti saja.”
Rania memandang haru saat tangan Shem terus menyuapinya. Sungguh ia merasakan cinta dan perhatian yang begitu besar.
“Tuh kan orang hamil itu bisa jadi gembul!” Shem memperlihatkan piringnya yang habis tak bersisa. Rania mengulum senyum. Nafsu makannya bertambah setelah kemarin ia selalu memuntahkan makanan yang masuk ke perutnya.
“Perutmu tidak mual kan?” Rania menggeleng. “Kalau begitu kamu istirahat lagi. Aku perlu berlari mengelilingi hotel. Aku takut perutmu mual karena mendapat gangguan lagi.”
Shem mencium kepala Rania sekilas lalu berjalan menuju pintu. “Aku keluar sebentar. Ingat harus istirahat. Kalau ada apa-apa telepon aku,” ucapnya lagi sebelum menghilang di balik pintu.
Sesaat Rania memandangi punggung itu berlalu. Kamar itu terlalu sepi tanpa Shem di sisinya. Ia meraba perutnya. Menepuknya pelan seolah meminta pengertian. Rania bangkit lalu bergegas keluar.
Shem sedang berjalan di koridor hotel, belum jauh dari kamarnya. Rania setengah berlari sambil meneriakkan namanya.
“Mas …!” Rania memanggil. Membuat pria itu menghentikan langkah dan berbalik.
“Rania …?”
Rania berlari mendekat. Menghambur ke pelukan lelaki itu.
“Kamu pikir kamu saja yang kangen, sementara aku tidak?” Shem terlihat bingung. “Kita kembali ke kamar.”
“Tapi ….”
Rania menarik tangan Shem membawanya pergi. “Apa aku juga harus ikut berlari mengelilingi hotel? Perutku sedang baik. Jangan khawatir.”
Shem terbahak. “Pelan-pelan jalannya, Rania Sayang!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) Terbit
RomanceSetiap orang pasti menginginkan teman hidup terbaik dalam sebuah pernikahan. Apakah setiap orang yang saling mencintai pasti bertemu dalam pernikahan? Bagaimana kalau ternyata dia yang ditakdirkan itu bukan orang yang diharapkan? Bisakah cinta itu d...