11

2.6K 152 6
                                    

Pria beriris mata coklat itu melangkah panjang dengan tergesa. Ia merasakan kelelahan luar biasa setelah tubuhnya berada dua jam lebih di kabin pesawat penerbangan komersil yang telah membawanya melintasi langit Medan menuju Jakarta.

Hal pertama yang dilakukan lelaki itu ketika kakinya menyentuh bandara adalah menghidupkan telepon selulernya.

Sudah dua hari ia tidak bertemu Rania. Dan itu adalah dua hari terpanjangnya yang sangat menyiksa, sejak dirinya menikahi perempuan berwajah teduh tersebut. Tidak hanya berpisah, bahkan ia sama sekali belum mendengar suara merdunya. Hanya berkirim pesan tanpa sekalipun Rania membalasnya.

Terbayang wajah Rania yang gelisah penuh tanya. Tentang alasan ia pergi selama ini. Dan dengan suka cita ia akan menceritakannya. Di hati lelaki itu sudah menumpuk beban yang ingin ia urai bersama Rania di balkon favoritnya.

Beberapa kali panggilan telepon tidak dijawab, bahkan selang beberapa menit hanya ada suara mesin penjawab. Telepon sedang tidak aktif.

'Apa kamu sedang sibuk di dapur, Sayang? Tak rindukah denganku dua hari ini?' Shem mendesah.

Lelaki itu memberhentikan taksi. Menyebutkan alamat. Mobil itu bergerak. Supirnya tidak banyak bicara, dan itu sangat menguntungkan bagi Shem yang sedang tidak ingin diganggu. Dia duduk termenung. Menatap gedung-gedung tinggi Ibu Kota. Bangunan-bangunan megah yang menjadi pusat pemerintahan, perniagaan dan peradaban.

Shem menghentikan taksi di depan rumahnya. Membuka gerbang yang tak dikunci lalu setengah berlari menuju pintu. Tangannya memutar knop pintu yang terkunci. Sesuatu hal yang selama ini jarang dilakukan Rania jika ia sedang berada di dalamnya.

Shem merogoh isi tas. Tangannya menyusuri setiap sudutnya mencari kunci. Rania selalu membekalinya kunci cadangan untuk berjaga-jaga, dan kali ini ia sangat membutuhkannya.

"Rania ...!" Shem berseru mencari perempuan yang sangat dirindukannya.

Kakinya merasakan hawa dingin marmer lantai. Sedikit berdebu seperti tak tersentuh sapu beberapa hari. Sepi.

"Rania Sayang ... aku pulang!" panggilnya lagi. Ia menjelajah seisi rumah. "Di mana kamu, Rania?"

Shem memastikan tidak ada siapa pun di rumah itu. Kembali ia menghubungi nomor istrinya. Lagi-lagi tidak aktif. Shem semakin gelisah.

'Apa mungkin Rania menginap di rumahnya, karena ia takut tidur sendirian di rumah sebesar ini?' Pikiran itu melintas di kepalanya. Segera ia menelepon Ayah Mertuanya.

"Assalamualaikum, Nak Shem? Gimana kabarnya?" suara di ujung telepon.

"Waalaikumsalam, Ayah. Alhamdulilah sangat sehat. Ayah, apa Rania ada di rumah Ayah? Saya baru pulang, Rania tidak ada di rumah."

"Apa Rania belum sampai? Rania memang menginap di sini, tetapi sejak tadi sudah pulang," sahut Ayah lagi. "Oh iya, Nak. Ayah mewakili Mamah, mohon maaf apabila Mamah selama hidupnya pernah melakukan kesalahan. Doakan juga agar segala dosa Mamah diampuni dan mendapat tempat terbaik di sisi-Nya."

Shem menyimak dan betapa terkejutnya ia dengan informasi yang disampaikan Ayah.

"Apa maksud Ayah? Kenapa dengan Mamah?" tanya Shem ingin tahu.

"Apa Rania tidak bilang, Nak? Mamah sudah meninggal."

Tangan Shem menutup telepon dengan tangan bergetar. Seakan tak percaya dengan berita duka yang baru saja didengarnya. Kenapa Rania tidak mengatakan berita sepenting itu? Bukankah Mamah sudah ia anggap ibunya sendiri? Shem tercenung beberapa saat.

Segera ia mengabari Ayah dan Ibunya. Mereka juga belum mendengar kabar itu. Ayah dan Ibunya belum pernah berkomunikasi dengan keluarga Rania sejak hari pernikahannya. Ibu kaget dan langsung memarahinya, sementara Ayah saat ini masih di Medan bersama Sindy. Mereka berencana pulang ke Jakarta keesokan harinya.

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang