19

2.9K 206 26
                                    

“Dua minggu itu berapa hari?”

“Empat belas hari,” jawab Rania. Tangannya sibuk mengepak pakaian dan beberapa kebutuhan Shem ke dalam travel bag.

“Kalau satu hari itu ada 24 jam, maka aku tidak akan bertemu denganmu selama 336 jam, 20.160 menit, atau setara dengan satu juta sekian detik. Ya … selama itu!” keluh Shem dengan wajah ditekuk.

Rania melirik Shem yang sedang mengamatinya dari atas ranjang.

“Dua minggu itu hanya setengah bulan. Sangat sebentar. Hanya akan melewati satu bulan purnama. Tidak lebih.”

“Tetap saja itu lama,” ujarnya lagi. Bibir Shem meniup anak-anak rambutnya.

“Kemarin itu yang mau titip istri dan main tinggal saja ke mana ya? Berubah pikiran? Katanya jangan kangen?” sindir Rania.

Shem tersenyum tipis, lalu berkata, “Memang kamu ga akan kangen? Ga takut kalau nanti aku ketemu sama pegawai hotel yang cantik-cantik?”

“Kalau kangen kan tinggal telepon. Malah bisa video call. Kirim pesan ‘hai’ saja juga boleh.”
Lagi-lagi Rania menyindirnya.

“Aku tidak bisa mengontrol hati seseorang. Juga tidak bisa mengaturnya agar tetap setia dengan janjinya. Yang bisa aku lakukan adalah meminta Sang Pembuat Hati agar bisa menjaganya langsung untukku. Aku lebih tenang dengan menitipkanmu kepada-Nya saja.”

“Kalau begitu doakan aku setiap hari. Sebut namaku dalam setiap sujud panjangmu. Minta Allah selalu menjagaku.”

Rania tersenyum sebagai jawaban mengiyakan permintaan suaminya.

“Mas, bawa Alquran punyaku, ya. Bawa kemana pun Mas pergi. Dengan begitu kau akan merasa kehadiranku di mana pun berada, tapi jangan lupa dibaca. Suara Mas bagus. Aku suka.”

Rania memasukan Alquran kecil ke dalam tas ransel milik Shem, terpisah dengan barang lain di travel bag-nya.

Suara ketukan pintu menghentikan obrolan perpisahan pagi itu. Ibu mengingatkan Shem untuk segera keluar. Ayah sudah menunggunya.

“Ayo, Mas. Sudah waktunya berangkat.”

Dengan berat hati, Shem bangkit dari duduknya. Menghampiri Rania untuk memeluknya.

“Tunggu aku,” bisiknya. “Maukah bersamaku dalam keadaan terburukku sekalipun?”

“Pergilah, Mas. Aku akan menunggumu kembali. Dalam keadaan apa pun. Itu janjiku.”

Shem melepaskan pelukannya. Mencium wajah Rania berkali-kali. “Satu ciuman untuk satu hari. Aku menghitungnya sampai 14 kali.”

Rania mencubit pinggang suaminya. “Cepat pergi! Yang tadi pagi sekali itu apa masih kurang?”

Shem tergelak, lalu menggamit tangan Rania keluar menemui Ayahnya. Pagi itu, Rania dan Ibu melepas kepergian Ayah dan Shem untuk jangka waktu yang tidak sebentar.

***

Selama dalam perjalanan, Shem lebih banyak mengatup mulut. Pikirannya sibuk menerka berbagai kemungkinan yang akan menimpa Blue Safir, sedangkan Ayah tampak serius dengan majalah bisnisnya.

“Kita akan ke Bandung.” Ayah memberitahu tujuannya.

Setelah itu, Ayah tak mengajak bicara lagi. Shem memilih memainkan ponselnya sampai bosan. Lalu tertidur hingga suara Ayah membangunkannya kembali.

“Kita sudah sampai. Ayo turun!” perintah Ayah.

Hotel Blue Safir Bandung terletak dekat dengan sebuah mall besar di jalan Pasteur. Tak jauh dari gerbang tol. Aksesnya mudah untuk dijangkau.

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang