Kilas Balik (2)

2.9K 185 22
                                    

Jeda lagi sebelum part 21

***

Rania duduk di taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Berbagai pohon dengan buah ranum juga tersebar di sekililingnya. Sungai jernih menjadi latar yang membuatnya sempurna. Ia takjub dengan tempat yang sangat asing baginya. Ini terlalu indah untuk ada di dunia nyata.

“Menikahlah denganku, Rania ….” Sebuah suara datang bersama sosok yang mendatanginya. Rania mendongakan wajah. ‘Ada orang lain di tempat itu.’

Pria itu mengenakan baju serba putih seperti dirinya. Rania mengamati dari ujung kaki sampai ke wajahnya. Cahaya putih kemilau membuat wajah itu terlihat samar.

“Kamu siapa?”

Sebelum pria itu menjawab, Rania sudah membuka matanya.

“Ya Allah … mimpi rupanya!”

Rania mengusap wajahnya. Mimpi yang seakan nyata. Entah siapa pria berbaju putih itu.

“Siapa pun kamu. Datanglah di saat yang tepat. Jaga dirimu baik-baik. Sampai ketemu nanti … calon imamku,” gumam Rania sebelum kembali tidur. Gadis itu tersenyum geli. Berharap suatu saat mimpi itu akan menjadi nyata.

***

Mereka menyebut dirinya sebagai kaum intelektual. Jumlahnya minoritas. Mungkin hanya lima persen saja dari jumlah penduduk negara ini. Rumah besarnya adalah menara gading bernama kampus. Tak bisa sembarang orang memasukinya. Punya otak sedikit cemerlang untuk lolos seleksi, atau cukup mengandalkan keberuntungan. Tidak hanya itu, kemampuan membayar pun tidak bisa dianggap sebelah mata. Kampus sudah serupa perusahaan, harus pandai mencari income.

Kampus sudah mirip pasar pagi. Berbagai wajah, gaya, sekaligus pemikiran ada di sana. Indah sibuk berceloteh menjadi pengamat penghuni kampus. Rania tak kalah sibuk menanggapi. Di pojokan berkumpul segelintir mahasiswa asyik berdiskusi. Penampilannya kucel. Seperti tak mandi berhari-hari. Semakin mirip gembel, semakin menyatu pula perasaan mereka dengan penderitaan rakyat kecil.

“Siapa mereka?” tanya Indah.

“Mereka klub diskusi ‘Anti Kemampanan’. Kalau pingin pintar, kritis, dan membuka wawasan, gabung sama mereka,” jawab Rania.

“Ogah. Hidup gue udah rumit. Kalau mereka?” Indah menunjuk sekelompok orang yang sedang berteriak-teriak melafal huruf vokal. A, I, U, E, dan O.

“Oh … itu anak sastra. Pemain teater. Mereka sedang latihan vokal.”

“Kalau itu?” Indah menunjuk jauh ke pelataran masjid kampus. “Yang sedang melingkar itu. Bukannya yang ganteng itu Presiden BEM kampus kita?”

Rania mengikuti pandangan Indah. Temannya itu memang selalu hafal dengan cowok-cowok ganteng dan populer di kampus ini.

“Iya, itu Kak Bisma. Dia sedang mengisi mentoring anak Rohis.” Kali ini Rania tahu jawabannya.

“Lumayan ganteng juga. Kabarnya dia itu menempati urutan kedua pria terpopuler setelah Shem.”

“Kok kedua sih, Ndah? Kalau boleh milih harusnya yang urutan pertama itu Kak Bisma.”

Indah memandang Rania heran. Tak biasanya Rania ikut menimpali tema cowok ganteng. “Tumben peduli? Ngefan ya sama Kak Bisma?”

“Bukan gitu. Kak Bisma itu selain Presiden BEM, dia juga terlihat sangat baik dan alim. Ga sebandinglah sama pujaanmu itu.”

“Alah … bilang aja suka!” timpal Indah.

Rania merasa tertohok. Hatinya sibuk beristighfar. Mengusir debar yang tak seharusnya. Bisma adalah kakak tingkatnya. Wajahnya selalu wara-wiri hadir pada setiap kegiatan kampus.

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang