Empat belas hari yang getir. Malam-malam yang dilalui Rania seakan sangat panjang. Setiap harinya hanya merasakan tubuh resah, dipenuhi kerinduan dengan helaan napas tertahan.
Dua minggu berjalan sangat lambat. Sesuatu yang telah terbiasa, maka akan sangat terasa berarti saat kehilangannya. Rania merindukan Shem yang selalu memberinya banyak cinta. Ia sangat menikmati perhatian, celotehan, dan juga canda tawanya. Shem membuat hidupnya sangat berwarna.
‘Merasa dicintai. Adakah yang lebih indah dari itu?’ Rania mencatat lagi pelajaran keenamnya : Sesekali perpisahan itu perlu, biar tahu bagaimana rasanya rindu. Dan jika ada yang lebih berat dari rindu, maka jawabannya adalah mengatakan langsung tentang rasa rindu itu sendiri.
Dua minggu ini, Rania menyibukan diri dengan berbagai kegiatan. Ibu sering meminta menemaninya datang ke berbagai acara. Pameran lukisan, acara amal, juga sekadar berbelanja di butik langgananya. Ibu semakin akrab dengan Rania.
Tak hanya itu, Rania juga memanfaatkan waktu mengunjungi sekolah alam anak jalanan yang dulu sempat ia tinggalkan. Ia juga bisa memenuhi keinginan Indah untuk bertemu dengannya. Kehamilan Indah sudah memasuki usia tiga bulan. Rania mengusap-usap perut Indah, berharap kehamilan itu akan menulari dirinya.
Sore ini, Rania diminta Rachel datang ke butiknya. Gadis itu ingin memperlihatkan pakaian muslim yang ia rancang untuk Rania.
"Ini rancangan busana muslim pertamaku. Aku membayangkan jika kamu yang memakainya. Bagaimana menurutmu?" tanya Rachel. Ia memperlihatkan sebuah gaun cantik berwarna abu.
Rania memegang gaun berbahan lembut tersebut. Rachel membuatnya sangat anggun dan elegan. Rania langsung menyukainya.
"Aku menyukainya. Sangat cocok juga untukmu." Rania membawa gaun itu dan menempelkannya di tubuh Rachel.
"Aku hanya membuat satu sesuai ukuranmu. Buatku terlalu kecil." Rachel memang lebih tinggi dari Rania. "Lagipula aku merasa belum pantas memakainya. Sepertinya akan sulit buatku memenuhi keinginan Retaz."
Rania mengernyitkan kening ketika nama Retaz disebut. "Apa Retaz memintamu memakainya?"
Rachel menggigit bibir bawahnya. Ia berjalan gelisah mendekati jendela. Melemparkan pandangan ke langit sore yang masih terang.
"Retaz bilang aku akan terlihat cantik dengan memakai itu, tapi aku meragukannya. Retaz hanya sedang membayangkan kamu dengan baju itu. Dia ingin aku seperti kamu. Sepertinya memang tak ada tempat lagi buatku."
Rania mencoba memahami perasaan Rachel. Lalu berjalan mendekatinya. Berdiri di samping gadis itu.
"Salahkah jika ada pria yang ingin membuat gadis yang disukainya menjadi istimewa? Retaz hanya ingin melakukan itu. Membuatmu lebih spesial lagi sebagai wanita. Jilbab yang kupakai ini tidak berlisensi. Tidak akan membuatmu lantas sama seperti aku." Rania mengambil kain segi empat bermotif abstrak berwarna gradasi putih abu, lalu dengan berjinjit memakaikannya di kepala Rachel. "Dengan ini kau akan tetap menjadi Rachel, tidak akan mengubah apa pun, selain akan menjadi Rachel yang lebih mempesona."
Rachel tampak menitikan air mata. Gadis itu berjalan ke arah cermin besar di salah satu sudut ruangan. Mengamati sebentar bayangannya sendiri dengan kain menutupi rambut indahnya.
"Kamu yakin Retaz tidak sedang membandingkan aku denganmu?" Rachel bertanya. Terdengar ragu.
"Mau aku tanya langsung kepadanya?" Rania balik bertanya.
"Jangan!" cegah Rachel. "Jangan dekati Retaz. Nanti dia semakin tidak bisa melupakanmu."
"Baiklah!" Rania tersenyum geli. Rachel semakin terbuka dengan perasaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) Terbit
RomanceSetiap orang pasti menginginkan teman hidup terbaik dalam sebuah pernikahan. Apakah setiap orang yang saling mencintai pasti bertemu dalam pernikahan? Bagaimana kalau ternyata dia yang ditakdirkan itu bukan orang yang diharapkan? Bisakah cinta itu d...