16

3.1K 217 15
                                    

Rania selalu menyukai pagi. Baginya, pagi adalah waktu untuk menjemput hari dan impian baru. Ia menjadi tanda bahwa malam yang dingin dan gelap sudah berlalu. Pagi adalah saat embun masih bergelayut manja pada ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan sampai ke ujung pegunungan.

Dibukanya jendela lebar-lebar. Mempersilakan oksigen yang semalam banyak diserap pepohonan agar kembali masuk memenuhi ruangan. Sepagi ini, Shem sudah terlihat rapi dengan setelan kemeja dan jas kerjanya. Sejak subuh tadi, ia sudah bilang akan lebih awal berangkat kerja. Rania tidak perlu repot memasak. Shem hanya minta dibuatkan roti selai kacang untuk sarapannya.

"Ayah akan datang ke hotel pagi ini. Aku harus menyiapkan banyak laporan untuknya." Shem memberitahu. Ia mengunyah pelan rotinya tanpa selera. Kakinya seperti tak berpijak. Wajahnya terlihat murung. Ia seperti kehilangan setengah jiwanya.

Rania teringat Ayah yang datang tempo hari. Boneka beruang dan baju-baju bayi itu ia simpan di salah satu kamarnya. Berharap kelak akan ada yang menghuninya.

"Ayah sangat menyayangimu, Mas. Jangan pernah ragukan cinta seorang ayah. Cintanya sama besarnya dengan cinta seorang ibu. Mereka hanya punya cara yang berbeda mengekspresikannya.

Jika cinta ibu ada dalam setiap dekapan, senyuman, dan kata-kata verbalnya. Maka, cinta seorang ayah ada pada diamnya. Cinta yang besar ia sembunyikan di relung hatinya, lalu keluar dalam setiap tetes keringat, kurasan pikiran, dan tanggung jawab beban di pundaknya."

Shem menyimak dalam diamnya. Kerongkongannya terasa kering. Dihabiskannya air putih hangat hingga gelas berkaki satu itu menyisakan setengah isi.

Ayahnya telah menyembunyikan masalah besar. Ia tidak tahu apakah sekarang harus mengasihani ayah atau sebaliknya. Marah atas segala beban yang tiba-tiba saja harus dipikulnya.

"Mas ... apa Mas baik-baik saja?" hati-hati Rania bertanya. Ia khawatir menyaksikan perubahan wajah Shem sejak kepulangannya tadi malam.

"Aku tidak apa-apa. Jangan cemas," jawab Shem pendek.

Feeling seorang istri terlalu kuat untuk mendapat jawaban 'tidak ada apa-apa'. Rania hanya mendesah pelan. Menunggu saat yang tepat untuk Shem mau berbagi isi hatinya.

"Pundak istrimu ini mungkin sangat kecil, tapi ia masih kuat menjadi tempat bagi seseorang yang ingin bersandar dan berkeluh kesah." Rania menepuk pundak kiri dan kanannya bergantian.

Bibir Shem tertarik ke pinggir. Membentuk lengkungan kecil. Shem beranjak membangunkan Rania dari duduknya. Dipegangnya pundak itu dengan kedua tangannya. Shem membungkuk sedikit, menyejajarkan tinggi badannya.

"Aku tidak tertarik. Aku pernah lihat, isinya hanya tulang terbungkus kulit. Aku lebih suka yang sedikit berisi. Itu lebih seksi!"

Sontak Rania menginjakkan kaki kanannya sekuat tenaga.

"Aduh! Rania galak ...!" Shem mengaduh lalu mengusap-usap punggung kaki kanannya. Korban serangan Rania yang tiba-tiba.

***

Shem berpesan agar Amel membatalkan semua jadwalnya hari ini. Ia pun tidak mau menerima tamu. Seharian ini ia tidak mau diganggu.

Ayah dan Sindy datang tak lama kemudian. Pria itu tercenung sejenak dengan pemandangan langka di depannya. Ayah dan Sindy kembali bersama. Dan kini, ditambah dirinya. Berkumpul bertiga. Sesuatu yang jarang dilakukannya.

"Sindy sudah memberitahumu bukan?" tanya Ayah membuka percakapan pagi itu.

Shem memandang sekilas wajah Ayah. Wajah setengah baya yang mulai keriput. Sindy lebih mirip dengan ayahnya. Kalau pun ada yang ia warisi dari Ayah adalah sifat keras kepalanya.

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang