15

3.2K 196 18
                                    

Dua perempuan itu duduk berhadapan dengan meja yang memisahkan di tengah. Segelas besar iced taro latte berwarna ungu dan fruity lemon squash menemani mereka siang itu.

Dipilih tempat dekat dengan mulut pintu. Sengaja, agar Sindy yang menginisiasi acara dapat dengan mudah menemukan mereka berdua.

“Kenapa sih suka banget janjian di kafe ini? Suka tempatnya apa owner-nya?” Pertanyaan Rania sedikit membuat Rachel salah tingkah.

“Aku hanya menganggapnya teman. Lagipula … dia hanya menyukaimu.” Rachel menukas. Gadis itu memandang keluar melalui pintu yang terbuka.

“Aku mengenal dia sejak SMA. Retaz dulu tak pernah terdengar dekat dengan perempuan mana pun. Adapun denganku kami dekat karena sering berlatih untuk lomba-lomba sebagai utusan sekolah. Dia pria yang pintar dan cenderung pendiam.

Jadi, melihat Retaz sekarang sedikit surprise bagiku. Dia sekarang terlihat lebih ekspresif, mungkin karena Retaz sudah dewasa saat ini.” Rania menjelaskan. Sepertinya Rachel memang ingin tahu lebih banyak tentang pemuda itu.

Percakapan terhenti sebentar. Lelaki yang menjadi topik pembicaraan sedang menuju ke arah mereka.

“Apa model dan desainer masih sempat ngerumpi bareng emak-emak pada pagi menjelang siang ini?” sapa Retaz melempar senyum.

“Emak-emak juga butuh piknik," jawab Rania. Rachel hanya tersenyum saja. “Chef, masih ingat dengan hukum Newton?”

Retaz memandang Rania heran. “Yang mana? Ada banyak hukum Newton.”

“Gaya aksi sama dengan gaya reaksi. Tidak akan ada reaksi kalau tidak ada aksi. Kalau lelaki sudah memiliki kesiapan, kelayakan, dan kepantasan, maka langkah selanjutnya tinggal aksi untuk tahu reaksi. Melamar dan mengajak perempuan yang diinginkan untuk menikah.”

Retaz mencoba menangkap maksud Rania. Dia memandang Rachel sekilas yang tampak membuang muka.

“Jangan lupakan juga dengan hukum gravitasi Newton,” jawab Retaz. Giliran Rania yang berusaha mengingat sesuatu.

“Setiap benda menarik massa benda lainnya dengan gaya yang menghubungkan kedua benda tersebut. Begitu bunyinya. Setiap benda yang memiliki massa akan terjadi gaya saling tarik menarik. Nah, untuk menikah juga demikan. Harus ada gaya tarik menarik yang sama. Bagimana bisa aku menariknya, sementara dia sendiri sedang berada pada pusaran magnet orang lain.” Retaz melanjutkan penjelasannya. Matanya tertuju kepada Rania.

Rania terdiam. Sedikit menyesal telah mengajak Retaz berbicara. Sementara itu, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Rachel. Ditatapnya nanar iced taro latte yang belum disentuhnya.

“Kalian lanjutkan ngobrolnya, ya! Aku ke sini hanya untuk menyapa saja.” Retaz pergi lagi. Kafe mulai terlihat ramai.

Sindy datang kemudian. Terlihat semringah dengan celana panjang yang dipadukan dengan blazer hitam yang membungkus tubuhnya. Kakinya yang ramping bertumpu pada sepatu hak tinggi. Sindy mirip dengan Shem. Perempuan itu terlihat cantik dan dewasa.

“Kamu Rania?” tanyanya sebelum duduk. Sekilas Sindy mengamati sosok perempuan yang kini menjadi adik iparnya.

“Aku kira Shem tidak akan bisa mencintai perempuan lagi selain Rachel. Dengan melihatmu aku bisa sedikit memahami kenapa Shem memilihmu.”

“Menurutmu kenapa, Kak? Aku ingin tahu,” tanya Rachel penasaran.

Sindy menatap Rania lalu Rachel bergantian. Kedua perempuan yang pernah mengisi hati adik lelakinya.

“Aku dan Shem dibesarkan tanpa banyak mendapatkan kasih sayang Ayah. Kami sedikit kesepian. Kalau aku menyukai David karena merindukan sosok pria yang protektif, maka Shem sebaliknya. Melihat Rachel sisi protektifnya tumbuh. Dia selalu ingin melindungimu. Memastikan kondisimu baik-baik saja. Dengan begitu, ia merasa berarti.

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang