17

2.9K 223 34
                                    

Terima kasih vote dan follow-nya ya 😊😊

***

Lelaki itu melajukan mobil meninggalkan kawasan Puncak dengan momen indah yang baru saja diciptakannya. Rania tertidur lelap, tampak kelelahan karena tidur terlalu larut tadi malam. Berulang kali diliriknya perempuan itu. Sosok yang telah mengisi hati dan pikirannya hingga tak menyisakan ruang lagi untuk perempuan lain.

Sejak ia menikahi perempuan itu, ia telah bersumpah terhadap dirinya sendiri. Bahwa ia akan mencintai Rania sepenuh hatinya. Cinta baginya adalah kata kerja. Sebuah komitmen besar untuk memberi, melindungi, berkorban, juga bertanggung jawab atas segala apa yang terjadi untuk orang yang dicintai. Jika kelak ia tidak bisa memberi Rania kebahagiaan, maka ia merasa telah gagal mencintainya.

Pemandangan hijau hamparan kebuh teh berganti menjadi gedung-gedung pencakar langit khas Ibu Kota. Mobil Shem memasuki komplek perumahan yang baru beberapa kali saja dikunjunginya. Kali ini, ia sudah mengingat rumah yang ditujunya.

“Rania, bangun … kita sudah sampai.” Shem mengusap lembut pipi Rania untuk membangunkannya.

Rania mengerjapkan mata beberapa kali. Menutup mulut yang kembali menguap. Pupil matanya membesar ketika menangkap bangunan rumah yang akrab dengan masa kecilnya.

“Rumah Ayah?” tanya Rania heran. “Kenapa kita ke sini?”

“Sudah lama kita tidak ke sini, bukan? Aku ingin ketemu Ayah.”

Rania membenarkan dalam hati. Ia sudah lama tidak mengunjungi Ayah dan Farhat. Sejauh apa pun langkah seorang anak pergi, rumah dan orang tua selalu menjadi alasan yang kuat untuk kembali.

Ayah sedang memotong rumput yang mulai meninggi ketika mereka datang, sementara Farhat sedang keluar mengunjungi temannya. Rania memeluk tubuh Ayah yang terlihat lebih kurus. Membayangkan betapa berat Ayah menjalani hari-hari tanpa Mamah di sisinya.

Ayah pamit sebentar membersihkan diri. Shem memilih duduk di teras, menikmati taman kecil yang ditumbuhi beraneka macam bunga. Rania menengok seluruh isi rumah. Hatinya terenyuh. Teringat Mamah yang sangat peduli dengan kerapihan dan kebersihan di rumah ini.

Rumah tanpa perempuan, seperti bumi tanpa matahari.

Ia akan kehilangan sinar dan kehangatannya. Barang-barang bergeletak tak beraturan. Piring dan gelas kotor menumpuk di wastafel. Baju-baju kering menggunung di tempat Mamah biasa menyetrika. Menengok meja makan, hanya ada satu kerat telur dadar sisa sarapan tadi pagi.

Insting perempuannya bekerja. Tangan Rania mulai mengumpulkan pakaian kotor lalu menyalakan mesin cuci. Setelah itu, mulai beralih ke wastafel. Sepertinya ia akan sibuk siang ini.

Shem masih bergeming di tempatnya. Tempat yang sama saat dulu Ayah menitipkan Rania kepadanya. Matanya memandang nanar bunga melati yang masih berupa kuncup-kuncup kecil. Hari ini, di luar keinginannya ia seperti melanggar janjinya sendiri.

“Kenapa tidak bilang kalau mau ke sini?” tanya Ayah sebelum duduk di kursi yang terpisah meja kecil di samping menantunya.

“Kami baru saja dari Puncak. Aku sengaja mengunjungi Ayah. Ada hal yang penting ingin dibicarakan.”

Ayah melihat wajah Shem yang terlihat murung. Ia bisa merasakan ada hal berat yang ingin disampaikan lelaki itu. Ayah menyiapkan telinga untuk mendengarkan.

“Dulu Ayah menitipkan Rania. Memintaku menjaga putri Ayah sebaik-baiknya. Dan hari ini … aku gagal melakukannya.” Shem terdiam beberapa saat. Suaranya tercekat. Helaan napasnya terdengar beberapa kali.

“Ada masalah apa? Katakan pada Ayah.” Ayah bertanya ingin tahu. Tangannya bertumpu pada kedua paha, sementara pandangannya tak lepas dari Shem yang terlihat gusar di tempatnya.

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang