10

2.5K 126 0
                                    

Shem sedang menandatangani beberapa berkas di meja kerjanya saat Amel masuk dan memberitahu kalau ada tamu yang ingin bertemu dengannya.

"Pak, Mba Rachel memaksa ingin bertemu," terang Amel. Mengekor Rachel di belakangnya.

"Maafkan aku, Shem. Ada yang ingin kubicarakan. Ini tentang Sindy." Gadis itu menyela.

Shem mendongak. Sudah lama ia berpesan kepada sekretarisnya untuk melarang Rachel masuk dengan bebas ke ruangannya seperti dulu. Namun, ketika ia mendengar nama Sindy disebut, Shem berubah pikiran.

"Amel, silakan keluar. Ada yang harus kubicarakan dengan Rachel."

"Terima kasih, Shem," gumam Rachel.

Gadis itu duduk di sofa. Ekor matanya menyapu ruangan.Tak banyak yang berubah. Kalau pun ada, hanya bingkai foto Shem dengan Rania yang ada di sudut meja.

"Ada apa dengan Sindy? Cepat katakan." Shem menatap malas gadis itu dari kursinya.

"Aku belum makan," ujarnya. Mengabaikan pertanyaan Shem.

Pria itu melirik jam yang melingkari lengan kirinya, sudah pukul sebelas siang. Ia tahu Rachel dari dulu paling susah makan. Pekerjaannya sebagai model membuatnya takut makan terlalu banyak. Shem menghubungi seseorang.

"Mel, tolong suruh siapa saja membeli spaghetti dari restoran depan. Bawa cepat ke ruanganku."

Gadis bermata sayu itu terharu. Shem masih mengingat makanan kesukaannya.

"Katakan ada apa dengan Sindy?" Shem tak sabar mendengar penjelasan Rachel.

"Dia sedang berada di Jakarta. Sebaiknya kamu menemuinya. Sindy membutuhkanmu."

"Di mana Sindy sekarang? Kenapa ia tidak menginap di hotel ini?"

Percakapan mereka terjeda. Amel masuk sebentar membawa makanan pesanan Shem.

"Aku akan mengantarmu ke sana kalau kamu mau."

"Makanlah dulu! Jangan merusak lambungmu lagi," perintah Shem.

Rachel tersenyum, Shem mengkhawatirkannya. Dulu hanya pria itu yang masih peduli apakah dirinya masih hidup atau tidak.

Rachel mulai memilin spaghetti, sedangkan pikiran Shem teringat dengan Sindy. Kakak perempuan yang diusir ayahnya sendiri. Sindy sangat membenci Ayah. Dia bahkan sudah bersumpah tak sudi lagi untuk menemuinya.

"Aku sudah selesai." Rachel menunjukkan wadah makanan yang tak bersisa. "Kita bisa pergi sekarang."

"Tak bisakah kamu bilang saja di mana Sindy?Aku akan menemuinya sendiri."

Rachel menggeleng. "Tidak, Shem. Karena dia menginap di apartemenku."

Shem mendesah. Dia tidak ingin lagi berurusan dengan Rachel. Apalagi sampai harus mengunjungi apartemen gadis itu.

"Sindy akan kembali besok pagi." Perempuan berambut ikal sebahu itu kembali mengingatkan.

Shem tampak berpikir sebentar. Ia sudah lama tak mengunjungi Sindy di Singapura. Saudara satu-satunya itu juga berhak atas hotel ini. Selama ini, itulah salah satu yang mengganggu pikirannya.

"Baiklah. Aku ke sana karena ingin bertemu Sindy. Kami harus bicara."

"Aku mengerti, Shem."

Rachel membuntuti Shem meninggalkan hotel. Sebelum pergi, lelaki itu berpesan kepada Amel kalau dia mungkin akan di luar seharian ini.

**STG**

Dengan hati riang, kaki ramping perempuan itu menyusuri loby hotel dengan senyum terkembang.

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang