6

3.4K 149 2
                                    

Lagu 'Akad' dari Payung Teduh mengalun lembut dari tape audio mobil mengisi keheningan yang sejenak tercipta. Rania memandang trotoar jalanan yang seakan bergerak maju jika dilihat dari balik jendela mobil. Sementara Shem fokus menyetir.

Bila nanti saatnya telah tiba
Kuingin kau menjadi istriku
Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan
Berlarian kesana-kemari dan tertawa
Namun bila saat berpisah telah tiba
Izinkan kumenjaga dirimu
Berdua menikmati pelukan di ujung waktu
Sudilah kau temani diriku

Namun bila kau ingin sendiri
Cepat cepatlah sampaikan kepadaku
Agar ku tak berharap
Dan buat kau bersedih

"Masih gak mau ngomong kenapa?" Tak terdengar lagi Payung Teduh bernyanyi, Shem memilih mematikan audionya.

"Kalau ada yang lebih mengerikan daripada Perang Dunia maka jawabannya adalah diamnya wanita. Berbicaranya saja kadang susah dipahami, apalagi diamnya. Butuh pendekatan berbagai disiplin ilmu untuk menjawabnya. Salah satu misteri yang gagal dipecahkan oleh Einsten. Dan ternyata ahli matematika yang berhasil memecahkannya. Rumus yang dihasilkannya adalah X sama dengan bukan X. Yang dikatakan bertolak belakang dengan maksud isi hatinya. Rumit dan so complicated!" keluh pria itu entah pada siapa.

Rania tetap tak acuh, sibuk memilin ujung jilbabnya. Shem tak menyerah, ini adalah ujian dalam berumah tangga. Yang dihadapi adalah wanita yang pikirannya masih berupa teka-teki dan misteri

Dalam keadaan seperti ini, ia ingat dengan petuah Ayah Mertuanya. Shem menghentikan mobil di sebuah minimarket.

"Tunggu sebentar, ya!" pinta Shem kepada Sang Istri.

Rania mengikuti punggung Shem bergerak memasuki minimarket dengan ekor matanya. Ingin sekali ia bercerita tentang kejadian di hotel yang sangat mengganggu pikirannya, tapi ia terlalu sungkan. Ia yang menguping pembicaraan orang lain, dan itu adalah salah.

Shem kembali dengan sekantung kresek kecil di tangannya. Berlanjut melajukan mobil lalu menepi di pinggir jalan.

"Kita istirahat sebentar, ya. Kita duduk di situ!"

Rania mengikuti suaminya yang memilih untuk duduk di halte bus pinggir jalan. Shem mengeluarkan sesuatu dari kresek yang ia bawa.

"Ini untukmu." Tangannya mengulurkan es krim berbentuk kerucut rasa cokelat dan sebungkus chiki rasa rumput laut ukuran besar.

Rania menerima makanan itu dengan mata berbinar. Sejenak lupa dengan 'diamnya'.

"Sejak menikah aku baru makan ini lagi," ujarnya sambil merobek kemasan chiki dan juga es krimnya. "Pasti Ayah yang bilang kalau aku suka es krim dan chiki ini."

Shem tersenyum lega mendapati wajah Rania kembali cerah. Ayah mertuanya benar, Rania mudah menangis tapi mudah pula diredakan, cukup sodorkan kedua makanan itu.

"Kamu ga makan es krim juga?" tanya Rania. Es krim beku itu pun dengan segera melumer di mulutnya.

"Aku tidak tahan dengan makanan yang terlalu manis. Minta chikinya saja, ya!"

Tangan Shem terulur mengambil chiki yang digenggam Rania tapi belum juga disentuhnya.

"Tidak boleh! Itu kan punyaku." Ditepisnya tangan Shem.

"Dasar pelit!" dengus Shem.

Rania mencebik tak peduli. Kegundahannya jauh berkurang seiring habisnya camilan di tangannya.

"Aku merasa tak pantas untukmu, Shem," ujar Rania memberanikan diri membagi beban hatinya. "Dengan penampilanku seperti ini mungkin hanya mempermalukanmu sebagai pemilik hotel."

Shem menyimak dan berusaha memahami apa yang terjadi. Entah sudah berapa bus yang mereka lihat menaikkan dan menurunkan penumpang di halte itu.

"Para pegawai hotelmu cantik-cantik ya? Para mantan pacarmu juga ... terutama Rachel," lirih Rania yang kembali membuat Shem harus menghela napas.

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang