7

3.1K 133 0
                                    

Malam semakin larut diiringi hujan deras yang kembali membuncah Jakarta. Langit serupa hamparan laut yang kelam. Sesekali petir menyambar, membuat benderang seketika.

Terdengar dengkuran halus Shem yang tengah pulas memeluk mimpi-mimpinya. Rania masih terjaga, kantuknya telah menguap. Berulang kali ia membaca pesan dari perempuan yang sempat mengusik pikirannya. Gadis itu ingin bertemu. Dia bilang ingin memberikan undangan pagelaran fashion show-nya. Besok, saat jam makan siang.

Haruskah ia menemui Rachel? Sementara hatinya saja masih belum utuh. Ada ruang kosong yang terasa hampa. Tarik menarik antara mengisinya dengan kepercayaan atau sebaliknya. Ragu.

'Shem, seberapa besar kaumencintainya dahulu? Apa aku sanggup menggantikan sebuah kenangan yang sudah lama menetap?'

'Apa yang kautakutkan Rania?' Gadis itu mengusap wajah kibasnya. Bukankah ia adalah perempuan yang sudah dipilih Shem?

Baiklah! Ini bukan perkara siapa yang paling pantas tetapi siapa yang pada akhirnya menjadi pilihan. Tak bisa selamanya ia menyembunyikan wajah. Rania menegakkan kepala, meraup kembali kepercayaan dirinya yang sempat menguap di udara.

Sebuah pesan pun dikirimkan. Suara petir kembali menyambar. Rania terlonjak kaget.

"Astagfirullhaladzhim ...."

Shem ikut terbangun dan mendapati istrinya dengan posisi tubuh mengkerut layaknya janin dalam rahim. Kedua tangannya menutup telinga. Ia sangat ketakutan.

"Kamu kenapa, Sayang? Takut petir?" Shem mengucek matanya mengumpulkan kesadaran. Rania menggeleng. "Kenapa belum tidur?"

"Aku hanya kaget, Mas. Tadi aku sedang memikirkan temu janji dengan seorang teman besok siang. Aku ingin meminta izinmu, Mas."

"Lelaki atau perempuan?" tanya Shem memastikan.

"Dia ... Rachel," gumam Rania lemah.

"Untuk apa kamu menemui Rachel? Aku tak mau kamu berpikiran macam-macam lagi," kata Shem setengah melarang.

"Dia hanya ingin memberikan undangan fashion show-nya untuk kita. Aku pernah bertemu dengannya, Rachel gadis baik. Mas tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja," yakin Rania.

Shem berpikir sejenak sebelum akhirnya mengiyakan. "Mau kutemani?"

Rania menggeleng cepat. "Tidak perlu. Aku sendiri saja."

"Kalau gitu nanti aku jemput pulangnya saja, ya?"

Rania mengangguk setuju.

"Aku tak akan melarang aktivitasmu di luar rumah. Lakukan yang menurutmu terbaik. Aku mempercayaimu. Kamu memang istriku, tapi kamu punya ha katas dirimu sendiri. Lakukan apa yang bisa membuatmu bahagia."

"Jadi, kamu mengizinkan kalau aku tetap melanjutkan beberapa aktivitasku sebelum menikah?"

"Aku tahu kamu juga suka ikut pengajian seperti dulu di kampus kan? Juga bantu-bantu mengajar untuk sekolah anak jalanan? Lakukanlah. Aku tak mau kamu merasa bosan hanya menungguku pulang kerja."

"Terima kasih, Mas. Untuk mengajar sementara ini mungkin tidak. Sesekali saja aku akan ke sana. Bolehkan kalau kita jadi donatur?" rajuk Rania.

"Tentu saja, Sayang. Ingatkan aku jika lupa," jawab Shem sambil mengusap sebentar pipi Rania. "Oh, iya aku ingin dengar kata-katamu yang di balkon itu. Coba ulangi sekali lagi. Mumpung hujan, suasananya romantis."

Rania mengulum senyum. Ia kemudian meraih telinga suaminya dan membisikkan sesuatu di sana. "You love me ...!"

"Hei, kebalik itu!"

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang