Hujan lebat perlahan menjadi gerimis kecil sampai akhirnya langit menghentikan kirimannya sama sekali. Tercium aroma petrikor dari tanah kering yang baru saja dicumbu hujan. Hawa berubah sejuk sebab panas telah meluruh bersama bulir air hujan di udara.
Rania perlahan membuka kelopak mata. Perutnya sudah lebih baik. Mual sudah menghilang entah ke mana. Matanya bergerak menyapu sekeliling kamar. Shem tak ada di ruangan itu.
“Mas …! Kamu di mana?” Rania memanggil. Tak ada yang menyahut. Sepi.
Sejenak kemudian terdengar suara derit pintu dibuka. Sosok yang ia cari muncul dari balik pintu. Kakinya bergesekan dengan lantai, sementara bibirnya tersenyum lebar melihat Rania.
“Mas, dari mana?” Rania bertanya.
“Sudah bangun? Gimana perutmu? Apa kita perlu ke dokter?”
Rania menggeleng. “Tidak usah. Sudah lebih baik. Mas dari mana?” ulangnya lagi.
“Aku dari bawah. Salat Asar bersama pegawai lain di Musala,” jawabnya. Shem ikut duduk di ranjang.
“Jadi, aku tertidur sejam lebih?” Rania melirik jam dinding. Hampir pukul empat petang. Ia membuka selimutnya.
“Iya. Sejam lebih pula aku hanya duduk memandangi putri yang tertidur. Menyedihkan!”
Rania meringis mendengar perkataan suaminya. “Kenapa pangeran tidak membangunkannya?”
“Sudah. Tidak mempan. Ga ngerasa ya? Mau tahu cara aku membangunkannya tadi?” Shem mencondongkan tubuhnya. Rania bergerak lebih cepat.
“Aku belum salat,” ujarnya sambil terbirit ke kamar mandi.
Shem tergelak melihat Rania. Ia menggantikan posisi Rania berbaring. Merasakan kenyamanan meluruskan punggung di kasur empuknya. Rania terlihat keluar dari kamar mandi dengan wajah dan rambut sedikit basah. Ia menggelar sajadah lalu menunaikan salat.
Shem masih mengikuti Rania dengan pandangannya. Perempuan itu melipat mukena. Tersenyum manis lalu terlihat malu-malu berjalan ke arahnya.
“Kamu harus membayar satu jam lebih waktuku yang terbuang percuma,” ucapnya sambil memegang bahu Rania yang duduk di dekatnya. Membuat pipi perempuan itu bersemu merah.
“Aduh, Mas. Perutku sakit lagi!” Rania memegangi perutnya.
“Sakit lagi? Sebentar, tadi aku ambil kayu putih dari bawah.” Shem mengeluarkan botol kecil berwarna hijau dari saku celananya. “Sini aku oleskan.”
“Aku saja!” Rania merebut minyak kayu putih dari tangan Shem. Menuangkan beberapa tetes lalu diusapkan ke perutnya.
“Gimana? agak baikan?” Shem merapat lagi.
“Aduh, Mas ini! Jangan dekat-dekat. Tuh kan jadi sakit lagi?” Rania mendorong tubuh Shem. Lalu kembali mengolesi perutnya dengan minyak kayu putih.
“Kok aku yang disalahin?” protes Shem. Tangannya terlipat di dada.
“Setiap kamu terlalu dekat. Perutku jadi sakit. Jadi sekarang mending kita jalan-jalan di luar saja. Siapa tahu perutku jadi tidak sakit lagi.”
Rania menarik-narik lengan Shem. Pria itu menghela napas sebelum berkata, “Sudah hitungan bulan menikah masih saja tegang kalau didekati suami. Apa karena aku terlalu ganteng?”
Wajah Rania sekilas memerah. “Mau ikut tidak? Aku ingin jalan-jalan.”
“Ya sudah. Kalau nanti malam sakit perut lagi, tidak ada toleransi!”
Rania pura-pura tidak mendengar. Ia melepaskan tangan Shem. Mengusap-usap perutnya. Ia sedang tidak becanda. Selain jantungnya yang berdetak lebih dari kecepatan normal, perutnya seketika menegang lalu berubah menjadi mulas saat Shem dua kali mendekatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) Terbit
RomanceSetiap orang pasti menginginkan teman hidup terbaik dalam sebuah pernikahan. Apakah setiap orang yang saling mencintai pasti bertemu dalam pernikahan? Bagaimana kalau ternyata dia yang ditakdirkan itu bukan orang yang diharapkan? Bisakah cinta itu d...