3

4K 167 4
                                    

Shem melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan berbaur dengan kemacetan yang sangat akrab sebagai masalah ibu kota.

"Mah, Rania lagi di jalan. Setengah jam lagi nyampe," sumringah Rania di ujung telepon.

"Iya, Sayang. Mamah tunggu kalian. Mamah harus masak apa, ya? Coba tanya suamimu ingin makan apa?" pinta mamah. Rania mengarahkan dagu ke arah Shem yang pasti mendengar pertanyaan Mamah karena percakapan itu sengaja dinyaringkan.

"Bilang sama Mamah, aku mau makan anaknya saja," gumam Shem yang dibalas dengan tatapan membunuh Rania.

"Ma, Shem bilang ingin makan aa ... maksud Rania apa saja boleh. Apa aja terserah Mamah."

"Oh, ya udah kalau gitu. Kalian hati-hati. Mamah udah ga sabar lihat menantu Mamah yang gantengnya kebangetan. Ternyata selama ini kamu sukses jalanin saran Mamah untuk memikat calon suami yang ganteng dan kaya ...,"

Segera Rania mematikan sambungan telepon sebelum mamahnya yang baik hati tapi sedikit berlebih dosis cerewetnya itu panjang lebar mempermalukannya di depan Shem.

"Jadi, kamu disuruh mamah supaya mikat aku?" celetuk Shem. Lampu lalu lintas berwarna merah, Shem menghentikan mobilnya.

"Ga, disuruh tetangga." Rania menukas. Malu bercampur kesal.

"Jangan-jangan yang memikat nanti malah jadi yang terpikat." Shem terkekeh. Mobil kembali bergerak setelah lampu berubah hijau.

"GR ...!"

'Apa penyakit orang ganteng di mana pun selalu sama? Terlalu percaya diri. Kadar narsisnya berbanding lurus dengan level kegantengannya.' celetuk Rania di dalam hati.

"Coba ceritakan sedikit bagaimana keluargamu. Menikah juga berarti menyatukan dua keluarga besar. Orang tuamu menjadi orang tuaku juga. Aku ingin pernikahan kita menambah kebahagiaan mereka, bukan sebaliknya."

Rania terharu dengan ucapan suaminya. Shem benar. Masa awal pernikahan bukan hanya masalah adaptasi dua orang saja tapi juga antar dua keluarga besar. Banyak pernikahan bermasalah karena gagal di fase ini. Beruntunglah mereka yang menikah dengan paket komplit, mendapatkan pasangan sekaligus mertua shalih yang bisa mencintai menantu selayaknya anak kandung sendiri.

"Mamah orangnya rame. Cerewet ala emak-emak. Sekali ngomong kayak main facebook, susah berhenti. Kalau ayah, lebih kalem. Orangnya lembut dan tak banyak bicara. Aku sangat dekat dengan ayah. Mungkin karena aku anak perempuan satu-satunya. Adikku Ali sedang kuliah di ITB. Ia mewarisi sifat ayah yang pendiam. Sedangkan yang bungsu, namanya Farhat. Masih SMA. Dia sih fotocopian mamah," jelas Rania. Ada kilat bahagia ketika berbicara tentang keluarganya.

"Oh. Iya. Rumahku mungkin kecil jika dibandingkan rumahmu. Maaf kalau kamu kurang nyaman di sana."

"Rumah itu hanya berbentuk fisik, yang menjadi inti dari rumah adalah penghuninya. Rumah akan meluas atau menyempit mengikuti hati pemiliknya," tukas Shem seakan mengerti kekhawatiran Rania.

Mobil Shem memasuki sebuah komplek perumahan di pinggiran Kota Jakarta. Rania memberi tahu ke arah mana mobil itu harus berbelok. Ini kunjungan Shem kedua setelah dulu datang pertama kali untuk melamar Rania. Ia belum begitu mengingatnya.

Di halaman rumah bercat kuning gading, Shem menghentikan mobil. Kedua orang tua Rania langsung menyambut di halaman ketika mereka datang. Tampak adik bungsu Rania, Farhat, juga ikut berdiri di sana.

Shem mencium takzim tangan ayah dan ibu mertuanya secara bergantian. Tanpa bisa dicegah, mamah Rania mencubit gemas pipi anak menantunya.

"Nak Shem, Mamah seneng banget kamu yang jadi mantu mamah. Serasi banget dengan anak kesayangan kami, Rania."

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang