8

2.8K 135 4
                                    

Malam yang gerimis. Dengan titik air serupa pasir, kecil tapi cukup untuk membasahi dedaunan. Shem memacu mobilnya secepat mungkin. Menembus malam yang diterangi pendar cahaya penerang jalan dengan berbagai pertanyaan menari di benaknya.

Tentang lelaki di kafe itu, juga bagaimana Rania bisa sampai menginap di rumah orang tuanya. Baru saja kemarin malam ia menikmati Rania yang cemburu, dan sekarang dirinya seperti mendapat karma. 'Sial!'

Tak sabar, dibunyikannya klakson mobil berkali-kali. Dering berisiknya membuat Darmin yang setengah mengantuk segera terjaga. Dibukakannya pintu ketika melihat mobil Tuan Mudanya sudah berada di depan pagar.

"Lama amat, Min!" kesal Shem membuka pintu mobil dan menyerahkan kunci kepada lelaki itu. Darmin mengerti kalau mobil itu harus ia simpan di tempat biasa.

"Maaf, Mas. Saya tadi lagi ngantuk," kata Darmin merasa bersalah.

"Tadi istri saya ke sini sama siapa?" tanya Shem dengan tangan di atas kepala untuk menghalau titik-titik air.

"Sama Bapak, Mas." Darmin menyerahkan kunci duplikat rumah yang ia simpan. Sepertinya seisi rumah sudah terlelap.

Tanpa banyak bertanya lagi, Shem masuk ke dalam rumah yang sudah sepi. Ada dua pertanyaan yang kini menguasai kepalanya. Di mana Rania dan dengan ekspresi apa dia harus menemui gadis itu? Ia sangat marah sekaligus sangat rindu. Perasaan yang aneh.

Kakinya melangkah ke kamar utama yang biasa diperuntukkan tamu. Kamar itu kosong. Shem kemudian mengecek lagi beberapa kamar lain yang tak ada pemiliknya. Tak ada siapa pun di sana. Hanya satu kamar yang tersisa selain kamar orang tua dan empat asisten rumah tangganya. Kamarnya sendiri.

Diputarnya gagang pintu, terkunci! Shem tersenyum. Tidak salah lagi, istrinya tidur di kamar itu. Diketuknya beberapa kali. Namun, tak juga ada jawaban.

"Rania ...! Rania, bangun!" panggilnya berulang kali. Pintu tetap terkunci, tak ada sahutan sama sekali.

Dengan kesal Shem mengambil ponselnya, mencoba menelpon Rania. Beberapa kali tak diangkat. Bagaimana Rania bisa tidur sepulas itu padahal mereka baru saja bertengkar? Sementara dirinya susah memejamkan mata karena sudah terbiasa tidur dengan gadis itu di pelukannya.

Setengah putus asa, Shem kembali menelponnya. Akhirnya terdengar suara perempuan itu menyahutnya.

"Ya, Mas? Ada apa lagi? Aku ngantuk." Suara Rania terdengar parau khas orang bangun tidur. "Besok saja kalau mau marah-marah," lanjutnya.

'Ngantuk dia bilang? Apa dia tak ingat sama sekali dengan suami sendiri?'gerutu Shem dalam hati.

"Buka pintunya!"

"Pintu apa?" tanya Rania tak mengerti.

"Pintu kamarku tentu saja!"

"Mas di mana memangnya?"

Dengan malas Rania membuka pintu. Berkali-kali ia mengucek matanya. Meyakinkan diri kalau dia tidak bermimpi. Shem benar-benar ada di hadapannya.

Pria itu segera masuk dan menuju lemari. Ia mengambil kaus dan celana pendek lalu segera mengganti pakaiannya yang sedikit basah.

"Kan sudah kubilang besok aku akan pulang? Mas tak perlu repot-repot menjemputku. Mang Udin bisa mengantar aku pulang."

Shem melirik Rania sekilas. Mata gadis itu sembab. Jejak tangisan yang pasti tidak sebentar. Mengingat air mata gadis itu, terbersit keinginan untuk meminta maaf dan memeluknya, tapi ia segera ingat. Bukankah harusnya ia yang marah karena mendapati Rania berduaan dengan lelaki sialan itu?

"Siapa yang mau jemput? Aku ke sini karena ...," Shem menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Lapar! Iya, aku sangat lapar. Sejak tadi siang perutku hanya diisi air," sambungnya dengan wajah memelas.

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang