12

2.5K 146 14
                                    

Sejak pagi perhatian Rania tersita pada pria di kursi roda di tepi pantai. Pria itu duduk termenung, memandang laut dengan mata yang meredup. Seolah tak peduli dengan celoteh anak-anak yang asyik membuat istana pasir.

Rania mengantarkan kelapa muda yang diminta sepasang muda-mudi di bangku panjang dekat pantai.

Pria kursi roda itu masih bergeming di tempatnya. Wajahnya berpeluh keringat, terpanggang sinar matahari.

Pria itu memiliki wajah putih bersih dengan jambang tipis menghiasi dagunya. Wajahnya terlihat frustasi. Tangannya bergerak memutar roda kursi. Ia tampak mengalami kesulitan.

Rania memberanikan diri menghampiri pria itu. Hatinya tergerak ingin membantunya.

"Bisa saya bantu?" Rania menawarkan diri. Berdiri di belakang, siap-siap mendorong kursi itu bergerak maju.

Pria itu menoleh. Tersenyum tipis.

"Terima kasih. Saya ingin pindah ke sana. Mencari tempat yang teduh."

Rania mengangguk. Bergerak mendorong kursi ke arah warungnya. Di sana pria itu bisa berteduh sekalian membasahi kerongkongannya.

"Terima kasih."

Rania menyodorkan segelas kelapa muda kepada pria itu. Sedari pagi sampai siang terik seperti ini, lelaki itu sama sekali belum terlihat meminum seteguk air pun.

"Kamu baik sekali," ujarnya. Air kelapa itu berpindah ke tangannya.

"Aku melihatmu dari kemarin duduk di sana sepanjang hari. Apa ada sesuatu yang menarik?"

"Panggil aku Gilang," ujaranya menyebut nama. "Sudah seminggu ini aku berada di sini. Justru aku yang baru melihatmu bekerja di warung ini."

Rania masih mendengarkan. Warung sepi pengunjung. Ia bisa merasakan kedua mata pria itu menyiratkan luka. Sama sepertinya.

"Kamu mau mendengar ceritaku?" Gilang bertanya.

"Seharusnya hari ini aku sedang bulan madu dengan wanita yang kucintai. Mobil kami mengalami kecelakaan dua hari sebelum hari pernikahan. Calon istriku tidak bisa diselamatkan, sementara kedua kakiku mengalami kelumpuhan," lanjutnya lagi tanpa diminta.

Gilang diam. Menjedanya dengan helaan napas. Rania melirik pria malang itu sekilas. Sepertinya wajah itu tidaklah asing. Ia pernah melihat tapi entah di mana.

"Kamu orang pertama yang mengajakku bicara di pantai ini. Terima kasih."

Rania bisa merasakan tatapan mata itu sarat duka. Dibiarkannya pria itu kembali dengan diamnya.

"Setiap orang punya kisah dukanya sendiri-sendiri. Yang berbeda adalah cara menyikapinya. Aku pun sama sepertimu. Butuh waktu untuk memaknai apa yang sedang terjadi."

Lelaki itu menoleh. "Siapa namamu?"

Rania hanya tersenyum sebelum kembali memasuki warung. Beberapa orang datang membutuhkan makanan.

***

"Sudah ada kabar tentang istriku?" tanya Shem di horn telepon. Sudah dua hari, belum juga ada titik terang.

"Istri Anda dipastikan tidak ada di Jakarta. Kami sedang melacaknya di luar kota. Beri kami waktu sebentar lagi."

Shem membanting gagang telepon. Dilonggarkan dasi yang membelit lehernya. Dadanya terasa sesak.

Dua orang perempuan datang memasuki ruangan. Rachel dan Kakak Perempuannya.

"Sejak aku di sini, aku belum bertemu dengan istrimu."

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang