5

3.6K 148 0
                                    

"Kamu tahu Rania? Salah satu nikmat terbesar seseorang itu adalah mendapat pasangan hidup yang menjadi pelengkap jiwanya."

Seakan tak ada habisnya, kedua insan itu terus saja bercengkrama. Di bawah langit sore yang sendu, dengan arakan awan menghitam yang sebentar lagi akan mengurai menjadi titik air hujan.

"Soulmate? The right person?"

Meja hanya memisahkan jarak dua kursi, tapi tidak dua hati. Tautan yang mulai mencipta kelopak bunga memekar di musim penghujan.

"Kamu tahu apa arti cinta kata Asma Nadia?" ujar perempuan itu lagi. "Cinta bukanlah mencari pasangan yang sempurna, tetapi menerima pasangan dengan sempurna."

Disesapnya sebentar air teh yang mulai dingin. "Kalaulah soulmate itu adalah gambaran seseorang yang sempurna sebagai pasangan hidup, maka kita harus berpikir ulang tentangnya. Karena untuk mencari yang sempurna, kita harus mencarinya ke atas awan, sebab di bawah sini nobody perfect."

"Kalimat terakhir itu dari Asma Nadia juga?" Shem menoleh, melempar senyum kepada perempuan yang juga sedang menatapnya.

"Bukan, kalau itu aku yang bilang. Sebagai istri aku masih jauh dari sempurna, Shem."

"Kalau kesempurnaan itu hanya ada di atas sana, mungkin sebaiknya kita memang bukan mencari orang yang sempurna, tapi mencari orang yang menyenangkan. Karena orang yang menyenangkan bisa mengajak kita tertawa dan membuat kita merasa hidup, bukan hanya sekadar mendampingi kita menjalani hidup."

Menjadi orang yang menyenangkan? Rania berpikir sejenak. Saat ini Shem bukan hanya menyenangkan untuk dilihat, tapi juga untuk diajak bicara. Bahkan saat suaminya itu sering menggoda dan membuatnya kesal, masih saja ia menikmatinya.

"Tumben kita akur dan bisa bicara seserius ini? Apa karena kita sudah ...?"

"Shem!" teriak Rania memotong. Wajahnya memanas mengingat kejadian tadi pagi.

"Ya ampun ... istriku sedang mikirin apa sih? Maksudku karena kita sudah merasa nyaman satu sama lain."

Rania menggigit bibir dan menunduk malu. Pikirannya terlalu jauh. Shem bangkit dan meraih tangan istrinya untuk berdiri.

"Masuk, yuk! Sebentar lagi Magrib. Habis isya jangan tidur dulu. Aku ingin belajar lagi."

Pikiran Rania mulai keruh lagi. "Belajar apa?"

"Memang maunya apa? Belajar baca Alquran ... itu kan PR terbesarmu sama aku." Shem tersenyum geli. Dielusnya sekejap kepala Rania yang dibalut jilbab merah muda.

'Ah, Shem!' Bahkan sentuhan kecilnya saja bisa membuat debar jantungnya naik berkali lipat.
Sepertinya mengobrol berdua di balkon akan menjadi salah satu rutinitas favoritnya.

**STG**

"Serius mau belajar Alquran sama aku?" Mata Rania menyipit, sejenak meragukan tekad lelaki yang tengah memangku mushaf Alquran di hadapannya.

"Dua rius ...," sahut Shem sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V. "Bagiku cinta itu harus menumbuhkan bukan memandegkan. Itulah kenapa aku memilihmu. Aku ingin menumbuhkan potensi kebaikan."

"Baik kalau itu maumu. Simpan dulu status istri dan suami saat belajar sama aku. Ganti guru dengan murid. Biar serius."

"Baik, Bu Guru Cantik ...!"

Rania mendelik sambil menggelengkan kepala. Sejenak gadis itu mengambil sesuatu dari laci meja riasnya.

"Aku sengaja membawa ini dari rumah untuk kamu. Kita mulai belajar dari sini. Buka halaman pertama."

Suamiku Terlalu Ganteng (Shem dan Rania) TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang