Satu

8.3K 418 15
                                    

Tok.. Tok..

"Siapa?!!"

Dahiku berkerut saat mendengar suara papa yang kesannya galak dan ketus itu.

Cklek!

Baru aku mau ngetok pintu itu lagi, tapi papa udah membukanya. Aku dan papa saling bertatapan. Kelihatannya dia lagi bad mood pagi ini. Aku bisa melihat dari wajahnya yang ditekuk kayak keset lecek itu.

"Mau apa kamu, Jevin?!!"

Tanpa menjawab apa-apa, aku langsung menubruk tubuh papa. Kupeluk erat, sampai dia nyaris kehabisan nafas.

Lalu perlahan, kurasakan tangannya mulai membelai kepalaku.

"Maafin Papa ya, Vin."

Aku menghela nafas. Kenapa sih belakangan ini papa kok suka marah tiba-tiba? Padahal kan aku gak pernah buat salah sama dia.

"Hei-hei, anak Papa kenapa nih?"

Aku melepaskan pelukkanku. Meski aku sangat tergila-gila dengan tubuh papa yang seksi dan harum itu.

"Pak Marvin, jam 10 pagi kita harus sudah sampai di Bandara Soekarno Hatta."

Aku menoleh. Kupelototi asisten pribadi papa yang sangat kurang ajar itu.

"Saya --- permisi dulu."

Papa mengacak rambutku. "Jangan suka galak-galak sama Tante Rara. Jadi kelihatan jelek kan anak Papa ini.."

Aku mengikuti papa ke dalam kamarnya. Kutendang pelan pintu kamarnya, hingga kembali tertutup.

"Papa, katanya aku mau dikasih pengawal juga."

Papa yang lagi sibuk memilih dasi, cuma sekilas melirikku.

"Yang ini bagus kok, pa.."

Papa tersenyum padaku. "Makasih anak Papa yang paling cakep..." Ujarnya seraya mencubit pipiku.

"Jadi gimana, pa?"

"Besok lusa, pas Papa pulang kita omongin lagi ya.."

Aku memeluk papa dari belakang. Kutempelkan telingaku pada punggung papa yang kokoh. Aku bisa mendengar suara nafas dan suaranya yang seperti orang sedang menggerendeng itu.

"Jevin..., nanti kalau kemeja Papa lecek lagi gimana?"

"Tapi janji ya.."

"Memangnya kamu itu butuh berapa pengawal?"

"Dua!"

"Ohhh..., Papa kira satu lusin."

"Tapi jangan yang tua sama lembek kayak ager-ager ya, pa!Pokoknya aku mau yang kayak Mas Erick gitu. Masih muda, tinggi, keren, dan yang punya kesamaan kayak aku..."

"Nanti Papa akan ngomong sama Hans. Biar dia yang mengurusnya." Ucap papa sambil memakai sepatunya. "Lagipula sebentar lagi kamu kan harus sudah kembali ke sekolah. Jadi Papa rasa, kamu memang membutuhkan pengawal."

"Tapi aku juga mau pindah sekolah ya..."

Papa memelotot lagi padaku. "Anak ini ya.."

"Aku mau sekolah yang deket sama rumah mama dan Rega. Boleh ya, Pa..."

Papa menyemprotkan minyak wangi pada leher dan bajunya. Membuatku refleks mendekat padanya.

Saat aku berdiri berdampingan seperti ini, aku jadi teringat ketika aku dan papa habis main kuda-kudaan semaleman suntuk.

"Rumah mama itu jauh, Vin."

"Kenapa emangnya, papa? Kan aku bisa nginep sama mama.."

"Enggak!" Suara papa meninggi. "Sampai kapanpun, Papa tidak akan pernah mengizinkanmu kembali ke wanita itu! Paham..?!!"

Don't Kill Me Papa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang