Tiga

4.8K 309 6
                                    

Aku menunjuk satu orang pria. Sepertinya umur orang itu kayak Pak Hans. Cuma --- kok dia item dan dekil ya?

Oke sih, badannya kekar bukan main. Tapi kan aku juga gak mau cuma yang sekedar kekar aja. Soalnya yang kekar disini juga udah banyak.

"Iyaaa -- saya Galuh. Lulusan SMA. Biasa ikut bajak sawah sama kakek."

Aku menghela nafas. Dia itu lagi rupanya. Si pria dengan rambut agak sedikit jambul dan matanya yang sipit itu.

Mata sipit kok, kok kulitnya item banget kayak areng buat bakaran sate aja?!

"Baiklah, next!"

"Tunggu!" Refleks lidahku berkata demikian. "Tadi yang itu siapa namanya?"

"Saya Galuh Wiryawan, Mas."

"Aku mau dia, pa.."

Papa, Pak Hans, dan beberapa ajudan papa sontak menatapku tajam. Aku sudah bisa menebak, kalau reaksi papa pasti tidak akan setuju. Soalnya pria bernama Galuh itu...

"Kamu lihat dia baik-baik, Jevin!! Papa gak mungkin mempercayakan kamu sama orang bodoh dan sembrono kayak dia!"

Emang sih dari awal mula tadi, orang itu yang paling gak bisa diandelin. Udah dateng telat, gak pake sepatu kets, dan lagi larinya juga gak cepet-cepet amat kayak yang lainnya.

Tapi aku merasa kalau dia...

"Kasih waktu seminggu, papa. Kalo ternyata Mas Galuh emang gak pantes jadi bodyguard aku, papa boleh keluarin dia."

"Jevin, Papa tidak setuju." Papa tetap pada pendiriannya. "Ini semua Papa lakukan demi kamu! Satu-satunya harta paling berharga yang masih Papa punya!"

"Papa lupa ya? Papa kan masih punya Rega."

"Oke. Papa setuju."

Aku menyengir. Papa gak bakal bisa berkutik kalo aku udah menyinggung nama adik atau mamaku itu.

Sudah hampir maghrib. Dan hari ini benar-benar sangat melelahkan bagiku. Memperhatikan para calon bodyguardku itu, mulai dari awal mula tes tadi hingga ke tahap akhir ini.

"Saya Bramantyo."

Deg.. Deg.. Deg..

Jantungku berdebar kencang saat pria berkacamata dengan kumis tipisnya itu, duduk di kursi, di hadapanku, papa, dan Pak Hans.

Aku seperti pernah melihat pria itu sebelumnya. Sorot matanya. Senyum melengkung di bibirnya yang tipis. Hidungnya yang mancung. Suaranya yang berat dan berciri khas itu.

Serta...

Aku bangkit dari kursiku. Kudekati pria itu dengan mataku yang nyaris tak berkedip.

"Om Bramantyo...?"

"Saya, Mas Jevin.."

Kudekatkan hidungku padanya. Lalu otakku seperti tersengat sesuatu. Sekelebatan bayang-bayang yang entah apa itu, serasa melambungkan pikiranku jauh.

"Jevin.." Papa memanggilku.

"Papa..." Anehnya aku malah masih tetap menatap pria dengan kaos putih polos dan kalung rantai yang terdapat di lehernya yang kokoh itu. "Papa..."

"Jevin, kamu kenapa?" Papa meremas pundakku dari belakang.

"Papa..." Aku berbalik menatap papa. "Dia..."

Papa mengangguk seraya tersenyum padaku. "Kamu gak keberatan kan kalau Pak Bramantyo ini yang akan menjadi salah satu pengawalmu selanjutnya?"

Aku mengangguk pelan. Entah kenapa, aku yang biasanya selalu tidak sependapat dengan papa, kali ini tidak demikian.

Don't Kill Me Papa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang