Lima

3.6K 263 2
                                    

Acara pilpres 5 tahunan kian dekat. Papa sepertinya udah benar-benar melupakanku. Segudang jadwal kerjanya itu, sudah menyita waktu dan tenaganya. Kadang aku merasa kasian juga sama papa. Tapi kadang, aku merasa sebodo amat dengannya.

Dia aja gak pernah inget sama aku. Toh, ngapain juga aku harus mikirin papa yang entah lagi tidur dimana, makan apa, dan ngobrol dengan siapa.

"Den Jevin kalah lagi..."

Aku tersentak dan baru sadar, kalau bidak punyaku itu harus kembali turun ke kotak angka 17. Padahal tinggal 9 kotak lagi, aku akan mencapai garis finish.

"Ganti mainan aja deh! Aku bosen main ular tangga terus...!"

"Tapi hukuman harus tetap diberikan, Den.." Om Brama pun mencoret dahiku dengan cairan arang hitam yang entah ia dapat darimana.

Aku kesal. Karena wajahku cemong-cemong kayak dakocan. Tapi aku masih lebih baik dari Mas Galuh yang bentukkan wajahnya udah gak karuan itu.

"Mas Galuh curang..!!" Aku memekik tiba-tiba.

"Saya gak curang kok, Den. Sumpah!"

Aku melirik Om Brama. Dan ternyata dia sependapat denganku.

"Kira-kita, enaknya kita apain ya Den, orang yang suka berbuat curang waktu main?"

Aku berfikir dulu. Soalnya Mas Galuh itu gak sekali dua kali curangnya. Sedikit aja ada kesempatan, pasti dia menggeser diem-diem bidaknya itu.

"Gimana kalau kita kasih hukuman suruh push-up seratus kali aja, Den?"

Aku menggeleng. Jelas aja aku gak setuju. Baik Om Brama dan Mas Galuh itu kan latar belakangnya dari sesuatu yang berhubungan dengan kekuatan fisik. Jadi, kalo cuma sekedar push-up doang sih, gak bakal ada apa-apanya.

Aha...!!

Aku berbisik sama Om Brama. Kuminta dia mengambilkan sesuatu dari dapur. Aku minta sama dia supaya gak banyak protes, dan cepat ambilin barang yang aku minta itu.

"Saya mau dihukum apa, Den?"

"Rahasia dong!"

Mas Galuh membereskan papan ular tangga dan monopoli yang baru aja kami bertiga mainkan. Habis itu, dia menyiapkan piyama yang akan kupakai untuk tidur.

Walkie talkie-ku berbunyi. Rupanya Om Brama meminta aku dan Mas Galuh untuk ke ruang makan.

Setelah berganti piyama, aku dan Mas Galuh bergegas ke lantai bawah.

"Udah siap kan, Om?"

"Sudah, Den.."

"Aduhh, Mas Galuh itu memangnya habis melakukan apa lagi? Kok sering banget dihukum sih?"

"Itu loh Mbok, Mas Galuh tadi curang waktu main uler tangga." jawabku.

"Habisnya saya kalah terus, Mbok.." Mas Galuh kelihatan makin pucet.

Aku duduk di salah satu kursi makan. "Keluarin sekarang, Om..!"

"Siap, Den..!"

Om Brama pun membawa semangkok besar samyang buldak dengan dua kali rasa yang lebih pedas itu.

Aku jadi makin antusias. Apalagi saat ini, ada banyak orang yang ikut menyaksikan hukuman terkejam yang akan dijalani sama Mas Galuh.

"Mas Galuh harus menghabiskan sepuluh bungkus samyang ini, dan juga ---" Aku tersenyum lebar sambil menaburkan satu botol bon cabe level 30 ke dalam mangkok mie yang memang sudah berwarna merah pekat kuahnya itu.

Wajah Mas Galuh beneran pucet pasi. Keringetnya pun udah mengalir deras di dahi dan lehernya.

Jujur, aku sendiri pun udah sakit perut saat mencium aroma cabe dari mie instant itu.

Don't Kill Me Papa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang