Chapter 2

134K 11.9K 1.1K
                                    

A little past.

____________

BEBERAPA kali aku mengedipkan mata, memang nama Athaya lah yang muncul disana. Sepertinya karena terlalu sering manatap layar komputer, minus mataku bertambah dengan sangat cepat. Aku mengurut kening pelan sembari mengembungkan pipi. Berharap ini hanya mimpi buruk yang sedang kubayangkan sebentar, lalu menghilang begitu saja setelahnya. Rasanya ini akan menjadi disaster pertama yang kualami sebagai sekretaris.

"Halo?" katanya ulang, ketika pria itu tak kunjung mendengarku berbicara lagi. Dia memastikan bahwa panggilannya belum kumatikan.

"Ma-maaf Pak, saya salah lihat nama. Saya kira tadi Ayah saya yang telepon. Ada apa ya Bapak menghubungi saya?" jawabku. Aku mengatur nafas agar suaraku tidak terdengar kesal. Menyiapkan akal sehat agar setan tidak berhasil menyelundupkan bisikan-bisikan amarahnya ke dalam diriku.

"Didn't I tell you not to call me 'Bapak' before? Rasanya di awal saya udah pernah bilang dua kali." Omel orang disebrang telepon itu ketika lagi-lagi aku lupa memanggilnya Pak.

Andai pria itu tahu, seberapa banyak istigfar yang sudah kulangitkan ketika mendengar suara mengomelnya. Menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menjulukinya dengan panggilan 'Dinosaurus Tengil' lagi. Kenapa juga dia mempermasalahkan panggilan tersebut? Padahal satu kantor Nata Adyatama juga memanggilnya dengan panggilan Pak. 

Memang, Athaya terlalu muda untuk dipanggil Pak. Tapi untuk oang secerdas dia, harusnya dia paham kalau panggilan Pak itu merupakan the most polite call yang bisa kugunakan sebagai bentuk respect karena dia adalah atasanku. Selama ini aku memanggilnya Pak, karena aku bingung harus memanggilnya dengan panggilan apa? Kak? Abang? Mas? Om? Atau sekalian saja kupanggil namanya. Tidak mungkin, kan?

"Ada apa ya emm ... Bos? Menghubungi saya di hari minggu?" tanyaku ulang. Finally my choice fell on Boss's call, panggilan paling normal yang bisa kugunakan selain Pak, ya hanya panggilan Bos.

Aku sengaja mengucapkan penekanan di kata 'minggu', berharap dia sedikit peka pada hari ini. Besok-besok akan kutandai setiap tanggal merah di kalender yang ada di mejanya, dengan stabilo berwarna mencolok. Supaya pria itu tahu bahwa semua tanggal merah itu adalah hari libur.

"Cancel penerbangan saya ke Bali siang ini, saya ada urusan mendadak. Kamu reschedule jadwal saya sekarang. Datang ke kantor, kebetulan saya lagi di kantor," suruhnya. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa lulusan D3 administrasi perkantoran akan bekerja layaknya panggilan darurat 112. Ditelepon kapan pun, disuruh datang semaunya.

Harusnya Athaya mempekerjakan pegawai pemadam kebakaran yang bersedia bekerja dua puluh empat jam dalam seminggu, daripada dia memperkerjakan seseorang sepertiku. Atau sekalian saja dia pasang slogan di depan ruanganku 'Pantang pulang sebelum padam'.

For your information, itu hanya satu dari sekian banyak konsekuensi yang harus kuterima setelah naik jabatan menjadi sekretaris. Dan tentu saja akan ada konsekuensi-konsekuensi yang lain, yang mungkin menantiku di hari-hari berikutnya. Setelah bertemu dengan Athaya dan menjadi sekretarisnya, kehidupan kantorku benar-benar penuh dengan yang namanya masalah.

"Sekarang banget Pa-Bos?" tanyaku, lagi-lagi hampir memanggilnya Pak.

"Iya, sekarang lah. That's why I'm calling you now, Shafira. Ngapain saya telepon kamu kalau saya nyuruh datangnya besok?" katanya mulai kesal.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang