Cinta Tak Harus Memiliki

462 43 4
                                    

Mencintaimu itu, derita yang senantiasa aku rawat.

Tak apa, aku yang mau.

Setelah jam sekolah selesai, Nita segera pamit pada Marco. Hari ini mereka memang tak lagi pulang bersama. Sahabatnya itu harus mengantar kekasihnya yang beda haluan dengan mereka. Dan Nita tak punya alasan untuk melarang Marco. Siapa dia? Marcopun mengangguk pada Nita.

"Hati-hati."

Nitapun tersenyum. Marco jarang sekali mengatakan hal seperti itu padanya. Jadi jika pria itu mengatakan hal yang terasa begitu perhatian menurutnya, ia jadi sedikit tersipu. Nita lalu segera meninggalkan Marco. Sepanjang perjalanannya menuju keluar, Nita berusaha sekuat tenaga untuk tak melihat ke belakang. Ia tidak kuat melihat pemandangan tersebut. Pemandangan dimana Marco tengah menggenggam tangan Sivi.

Kedua sejoli yang baru hangat berpacaran itu menembus jalanan yang cukup ramai. Jalanan kota. Pasangan yang sangat serasi, dimana Marco pria tampan dan Sivi yang cantik dan lembut. Mereka berdua berjalan beriringan. Sesekali Marco mencuri pandang ke tangan Sivi. Ia ingin memegang tangan itu namun tak bisa. Karena ego Marco yang sangat tinggi.

"Siv, maaf aku hanya bisa mengantarmu sampai halte saja." Akhirnya Marco mau membuka topik pembicaraan.

"Iya, tidak apa-apa Mar." Ucap Sivi malu-malu.

"Hm.. jangan lupa jam 3 sore nanti aku akan menjemputmu di rumahmu ya." Marco tampak berpikir keras untuk berbicara. Wajahnya yang biasa terlihat datar kini sedang mengeluarkan semburat merah.

"I..i.. iya." Kali ini Sivi menundukkan wajahnya karena malu.

Kedua sejoli itu tidak sadar, sepasang mata tengah menatap mereka dengan mata yang berair. Tangannya menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Bibir bawahnya bergetar sambil menyebut nama pria yang tengah bersama gadis lain. 'Marco tahukah kau aku disini sendirian hanya dapat melihatmu dari kejauhan. Tahukah kau aku disini menangis sendirian . Tahukah kau aku disini begitu merindukanmu, kau yang bahkan bukan milikku'

***

Nita membuka pintu balkonnya. Ia keluar sambil membaca buku novel yang belum selesai ia baca. Ia meletakkan tubuhnya diatas kursi kayu jepara. Pikirannya terasa berat hari ini. Hembusan angin membelai lembut kulitnya dan menenangkan sarafnya yang tegang. Pandangannya kemudian tertuju pada hamparan langit yang sudah mulai berwarna jingga. Ia juga dapat melihat burung yang tengah terbang berputar-putar dilangit biru. Ia lalu membuka bukunya dan kembali membaca halaman selanjutnya.

Aku ini memang cuma sebatas ruang kecil kan? Ketika kamu mengucapkan "sampai ketemu nanti siang" barusan, aku betul-betul ingin merangkum kedua belah pipimu.
Sayang sekali aku tidak bisa. Meski aku sangat ingin melakukannya. Baru saja aku mengulurkan kedua tanganku, jari kita sudah bersentuhan didepan cermin. Tak bisa saling menyebrang. Tak bisa tertembus.
Maaf aku mencintaimu dalam bayang-bayang didalam kaca sana. Yang aku punya, yang kamu punya, kita punya. Betapa sakit mencintai orang lain tanpa pernah bisa memiliki.

-Robin Wijaya-

Nita menutup buku itu. Ia menghirup nafas banyak-banyaknya lalu memejamkan matanya. Kata-kata dibuku itu benar-benar menohok dirinya. Sakit, benar sangat sakit tidak dicintai orang yang kita cintai. Dada Nita rasanya bergemuruh hebat ketika mengingat kejadian siang tadi, saat Marco menggenggam tangan Sivi. Namun siapa dirinya? Bukankah ia tidak berhak untuk cemburu?

"Here you are. Kau sudah pulang sekolah?"

Sebuah suara membuat Nita membuka matanya. Ternyata Steve. Pria itu lalu duduk disamping Nita. Nita hanya tersenyum hambar menanggapi kehadiran Steve. Steve heran melihat raut kusut diwajah Nita. Kenapa lagi dengan gadis ini?

SILENT LOVE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang