EPILOG

1K 36 0
                                    

"Jadi tema dari pakaian ini adalah alam. Saya terinspirasi dari warna di pulau raja ampat. Saat itu, salah satu rekan kerja saya membuat lukisan yang dilubangi dan difoto di atas pulau itu. Dan hasilnya begitu memuaskan saya berencana akan meluncurkan ini tiga bulan mendatang. Tapi bagaimana menurut kalian sendiri?" Sivi memberikan potret model yang tadi dikatakannya. Mereka semua setuju. Beberapa bahkan langsung besorak pelan karena kagum akan ide yang diberikan Sivi.

"Ini hebat. Saya suka, nyonya."

"Ah, syukurlah. Jadi saya rasa saya akan mencari kain jenis apa yang akan saya gunak-kan."

Saat belum selesai mengatakan kan, Sivi melihat pesan yang masuk keponselnya. Ia tersenyum dan langsung bangkit berdiri. Tangannya mengambil tas yang berada di meja dan mengatakan, "Saya rasa cukup sampai disini. Saya harus pulang, ada yang akan saya urus."

Setelah berjabat tangan, Sivi langsung keluar dari ruangan rapat. Baru saja ia membuka pintu, sebuah sosok membuat ia terpelonjak kaget karena ternyata suaminya berdiri di samping pintu. Pria itu masih mengenakan seragam kerjanya. Tampaknya Marco juga baru mendapat pesan sama sepertinya.

"Ayo kita pergi." Ucap Marco. Sivi mengalungkan tangannya di lengan Marco dan melangkah menuju parkiran. "Bagaimana dengan Vania?" tanya Sivi.

"Aku menyuruh pengasuhnya membawanya langsung ke sana."

Sivi mengangguk lalu masuk kedalam mobil.

***

Vanilla baru saja menyelesaikan rapat dengan perusahaan lenssa mata. Saat sedang bergegas keluar, dia menerima pesan dari Andre. Ia seketika tersenyum dan buru-buru mengejak atasannya.

"Pak, pak. Pak presdir." Pria berusia setengah abad itu berhenti karena dipanggil. Ia berbalik dan menatap Vanilla yang tak biasanya berteriak seperti itu.

"Ada apa, Van?"

"Saya harus izin. Ada hal penting yang harus saya urus." Ucap Vanilla.

"Tapi kita masih ada rapat jam tiga sore."

"Tapi pak, ini penting sekali. Saya harus segera pergi." Vanilla berbicara dengan panik.

Akhirnya setelah berhasil membujuk atasannya, ia mendapat izin satu hari. Vanilla mengucapkan terimakasih banyak lalu segera keluar dan memberhentikan taksi.

Vanilla berlari memasuki rumah sakit. Ia mencari-cari ruangan yang tadi di kirim oleh Andre. Setelah berkeliling selama beberapa menit, ia akhirnya menemukan ruangan itu. Disana sudah ada Sivi bersama Marco yang sedang menggendong putri mereka. Vania. Andre sendiri sedang duduk di samping Steve. Kekasihnya itu menepuk-nepuk pundak Steve seperti memberi semangat.

"Bagaimana?" tanya Vanilla ketika sudah sampai.

"Belum selesai." Jawab Handro yang ternyata berdiri di belakang Marco.

"Astaga. Lama sekali." Gerutu Vanilla.

"Sebaiknya kau berdoa saja. Semoga Nita selamat." Kata Marco.

"Aku sudah menghubungi keluargamu. Mereka sedang dalam perjalanan." Ujar Handro pada Steve.

Steve mengangguk lemas. Tangannya kemudian diatupkan di wajahnya. Ia terlihat begitu cemas. Kakinya sedari tadi tak henti-hentinya bergoyang. Andre sudah mengatakan kalau Nita akan baik-baik saja. Tapi tak membuat Steve tenang. Ia malah makin panik. Beberapa belas menit kedepan, akhirnya dokter itu keluar juga. Steve langsung bangkit dan menghampiri dokter yang tadi menangani Nita.

"Bagaimana, dok?" tanya Steve langsung. Wanita itu tersenyum seraya memasukkan stateskopnya kedalam sasku jas. "Dia selamat. Begitupun dengan bayinya."

"Syukurlah." Semua begitu lega. Apalagi Steve. Badannya langsung merosot kebawah. Akhirnya masa-masa berat itu berlalu juga. Akhirnya jantungnya bisa kembali normal. "Dan, tampaknya jagoan anda sangat tampan, tuan Steve." Semua yang berada disitu langsung bersorak dan memberi selamat. "Selamat, dude. Akhirnya kau menjadi seorang ayah."

"Silahkan masuk untuk melihat. Tapi tolong jangan terlalu berisik ya." Tanpa babibu, Steve lompat memasuki ruangan Nita yang habis bersalin. Dia mematung melihat istrinya sedang menggendong putra mereka. Nita sesekali menangis kecil melihat wajah putra mereka. Steve berjalan perlahan.

Nita melihat Steve yang datang mendekat. Bibirnya terangkat. Steve langsung mengecup kecning Nita. Begitu lama. Setelah itu dilihatnya wajah malaikat kecilnya yangbaru saja datang kedunia. Mata Steve memerah. Bibirnya bergetar. "Dia mirip denganmu." Kata Nita. "Tampankan."

Kini Steve menangis dan memeluk Nita. Ia mengecup kepala istrinya berkali-kali. Ia sangat bersyukur pada Tuhan karena telah mengaruniakan malaikat dalam keluarga mereka. Nita juga ikut menangis karena mendengar Steve yang menangis."Terimakasih, sayang. Terimakasih." Beribu kali Steve mengucapkan itu. Nita mengangguk. Semua yang ada disana menangis haru menyaksikan kebahagiaan keluarga kecil itu.

Ica mendekat pada putrinya. Ia mengecup kening serta kedua pipi Nita."Selamat, sayangku."

"Ma, maafin Nita ya, kalau Nita buat salah sama mama." Nita menangis meminta maaf. Ica menggeleng. "Tidak sayang. Kau tak pernah berbuat salah. Mama bangga pernah memilikimu dalam hidup mama. Dan terimakasih sudah memberi papa dana mama cucu yang begitu tamoan dan sehat."

Rudi juga ikut mengecup pipi putrinya. Ia menangis dan memeluk putri kecilnya yang tak kecil lagi. Ah, padahal rasanya baru kemarin ia menggendong Nita. Sekarang ia malah harus menggendong cucu.

"Baiklah, selamat datang Mandes sayang." Olin mengecup junior Mendes. Ia juga ikut memeluk Nita dan mengecup kepala menantunya itu.

"Ah, bahagia sekali mereka. Aku jadi terharu." Kata Vanilla. Tangannya mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh membasahi pipinya.

"Jadi terharu atau iri? Makanya cepat suruh Andre melamarmu."

"Hei, sedang mengumpulkan uang untuk pernikahan kami." Pekik Andre.

"Oh, ya? Kapan itu? sampai Vania masuk SMA?' Dan lagi Marco mengejek pasangan yang sudah setahun menjalin hubungan itu. semua yang ada disitu tertawa melihat wajah Vanilla yang merengut dan Andre yang salah tingkah. "Benar. Jangan mau seperti paman Handro. Lihat, dia bahkan sudah menjadi perjaka tua." Kata Nita.

"Hei kenapa kau membawa namaku?" Handro kesal.

"Sudahlah. Apa yang dibilang Nita memang benar kok. Makanya buruan nikah." Olin menimpali.

"Jadi, Nita. Apa kalian sudah memikirkan nama yang tepat untuk jagoan itu?" Kali ini Sivi yang bersuara. Nita mengangguk. Ia lalu menatap suaminya yang masih menatap jagoan mereka. Nita memberikan bayi itu untuk digendong Steve. Steve menerimanya ragu-ragu. Dengan hati-hati ia menggendong. "Kami sudah memikirkannya. Tapi aku ingin Steve yang memberi tahu kalian semua."

"Siapa namanya, Steve?" tanya ayah Steve. Semua orang langsung menatap Steve. Menunggu pria itu mengumumkan nama pangeran kecil itu. Steve yang asik menggendong jagoannya lalu berhenti mengayun. Benar, mereka sudah menyiapkan nama dari sebulan lalu. Dan mereka sepakat untuk akan memberi nama, "Cornelius Mandes." Kata Steve.

"Bagus. Tapi bagaimana kalau Cornelius Scarlet Mandes?" kini Ayah Steve yang memberi saran. "Bagus. Aku suka." pekik Nita.

"Kalau begitu, hai Cornel." Sapa Handro sambil menyolek pipi Cornel.

Steve tersenyum. Ia memeluk Nita dengan satu tangan lainnya. Ia menunjukkan wajah Cornelius pada Nita. Nita tersenyum dan mengecup kening putranya. Selamat datang didunia, Cornelius Scarlet Mendes.

TAMAT

SILENT LOVE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang