Kalau saja rasa sakit itu bisa di beri, aku siap mengambil 99 dari 100 rasa sakit di tubuhmu
Steve terduduk lemas pada kursi tunggu rumah sakit. Ia menopang wajahnya dengan telapak tangannya. Sesekali ia mengusap wajahnya lalu menjambak rambutnya frustasi. "Steve."
Sebuah suara membuat Steve mengangkat kepalanya. Ia mendapati nyonya Amora berlari ke arahnya diikuti suaminya, tuan Amora. Steve langsung berdiri dan menatap ke arah mereka berdua. Pipi Ica sudah basah oleh air mata yang terus mengalir di pipinya. Ica memegang kuat pundak Steve dan langsung menanyakan keadaan putrinya. "Steve, bagaimana keadaan Nita? Ia baik-baik sajakan? Ia tak kenapa-kenapa kan? Kenapa bisa ia masuk rumah sakit?"
Steve hanya menunduk. Ica sedikit geram di buat olehnya. "Jawab aku, Steve!"
Rudi memeluk Ica dan menepuk-nepuk pundak istrinya. "Shhht. Tenanglah."
"Bagaimana bisa aku tenang sedangkan putriku baru saja di tabrak?" Isak Ica.
"Tenanglah sayang. Dia juga putriku. Aku yakin dia anak yang kuat." Ucap Rudi lagi.
Setelah dirasanya istrinya tenang, ia lalu menatap Steve yang menunduk sambil memasukkan tangannya kedalam saku celana. "Steve, bagaimana keadaan Nita?"
"Dia masih diperiksa." Jawabnya pelan. Rudi mengangguk paham. Ia tak mau bertanya lebih banyak dulu pada Steve. Steve menggit bibirnya. Memejamkan mata. Rasa bersalah ia merayapi dirinya.
"Bagaimana bisa itu terjadi, Steve?" Tanya Ica.
Steve setia menunduk. Ica melepaskan pelukan suaminya dan segera menarik kerah Steve. "Jelaskan padaku bagaimana bisa anakku di tabrak!" Teriak Ica. Rudi segera melepaskan tangan ica dan kembali memeluk wanita itu. "Shhht. Tenanglah Ica."
"Maaf, maafkan aku." Gumam Steve. Air matanya setetes jatuh. Ia semakin menundukkan wajahnya. Menutup kedua matanya dengan lengan kanannya. Menyembunyikan air matanya yang juga jatuh kian menderas.
"Sudahlah, Steve. Om yakin ini bukan salahmu." Rudi menepuk pundak Steve. "Sudahlah." Tangisan Ica semakin kuat begitupun dengan pelukan yang di terimanya. Ia menatap suaminya. "Dia akan baik-baik sajakan?"
"Iya sayang, dia akan baik-baik saja. Dia putri kita yang kuat." Sebuah kecupan mendarat di kening Ica.
Tak berapa lama, seorang pria berjas putih keluar dari kamar rawat Nita. Steve segera berlari diikuti dengan pasan1gan di belakangnya. "Bagaimana keadaanya?" Tanya Steve to the point. Semua mata menatap ke arah dokter itu.
"Saat ini pasien tengah mengalami cidera fisik yang serius. Karena benturan yang begitu kuat pada kepala, menyebabkan ia mengalami concussin atau biasa kita sebut geger otak. Kami belum tahu apakah ada tulang tengkorak yang patah. Besok kami akan melakukan ct scan untuk merontgen seluruh tubuhnya. Apalagi lehernya patah ringan. Sehingga kami meletakkan penyangga leher. Silahkan masuk kedalam jika mau melihat, namun diharapkan jangan membuat keributan." Setelah menjelaskan hal itu, sang dokter izin pergi. Ekor matanya menatap Steve yang juga tengah menatapnya lalu meninggalkan mereka.
Ica langsung saja berlari masuk kedalam diikuti Rudi. Steve hanya berjalan sampai pintu. Menatap Nita yang terbaring melalui kaca pintu kamar. Gadis itu di beri selang infus juga selang oksigen. Peyangga leher bersarang manis di lehernya. Samar-samar ia juga dapat melihat lebam di wajah dan beberapa bagian tubuh gadis itu. Steve berbalik. Ia jatuh terduduk sambil bersandar pada pintu. Ia menekuk kaki kanannya dan menopang wajahnya. Tanggannya ia gunakan menutup wajahnya. Suara tangisan Ica dari dalam semakin membuat rasa bersalahnya muncul. Suara tangisannya tak dapat ia tutupi lagi. Tangannya memukul-mukul dadanya. Sakit, namun tak sesakit apa yang di alami Nita.
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENT LOVE (SELESAI)
Teen FictionNita Amora, seorang gadis berusia 16 tahun yang jatuh cinta pada Marco sahabatnya sendiri yang ternyata juga tengah terpikat dengan sosok gadis lembut, Sivi. Namun seiring berjalannya waktu, Marco pun menyadari perasaannya pada Nita. Marco bahkan me...