Intograsi

318 25 2
                                    

Tapi sekarang, setiap detik yang ku habiskan di sini bersama kalian membuatku paham di mana posisiku. Membuatku sadar untuk menghentikan mimpi bodohku. Dan aku merasa akan memang lebih baik jika aku berteman denganmu

JUNY POV

Aku berjalan menuju kamar Nita. Di tanganku sudah ada nampan yang berisi makan malam miliknya yang belum ia makan. Aku memasuki kamarnya. Yups, kamar tamu. Sesekali gadis itu akan memilih tidur di sini saat tak ingin naik ke atas. Aku mengetuk pintu kamar itu sekali. Namun tak ada juga jawaban. Ku ulangi berkali-kali, namun sama.

"Nita, kau di dalam?"

Astaga, tentu saja dia di dalam. Tapi kenapa ia tak menjawab apapun. Of course she won't.Aku membuka pintu kamar Nita. Kakiku berjalan perlahan. Kamar ini sangat berbeda dengan kamar gadis itu. Ini terlalu mati. Hanya ada warna putih tanpa ada bercak warna apapun.Apalagi hanya ada satu kasur berukuran king size dengan meja rias lengkap dengan kursinya. Seperti tak ada penghuninya secara spesifik jika aku tak melihat Nita yang sedang tidur di atas ranjang berwarna peach itu.Mungkin aku akan mengira gadis itu sudah mati jika tak melihat dadanya yang masih naik turun.

"Huff. Ayo selesaikan ini, Jun."

Aku mencoba menyemangati diriku sendiri lalu berjalan menuju Nita. Ku letakkan nampan itu di atas meja rias yang letaknya di sebelah kepala ranjang. Aku duduk tepat di sebelahnya. Ia terlihat begitu pucat. Sedari siang ia belum makan apapun. Aku tak tahu kenapa, tapi aku memiliki firasat kalau ini semua ada hubungannya denganku.Ku akui, Nita memang terlihat begitu kekanak-kanakan. Dia gampang cemburu pada hal yang ia miliki. Namun, aku yakin ada alasan dibalik itu semua.

Kata Steve, dia tinggal sendiri di rumah yang bagiku ini cukup besar. Orang tuanya selalu melakukan perjalanan bisnis ke berbagai negara. Meninggalkannya seorang diri. Tapi, jika ia bisa menjaga dirinya sendiri seperti ini, bahkan tanpa bantuan seorang maid, itu berarti Nita adalah orang yang dewasa. Atau lebih tepatnya bisa dibilang mandiri. Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya perlahan. "Hei, Nit. Ayo bangun. Kau harus makan."

Setelah berapa lama mencoba akhirnya dia bangun juga. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Mencoba mengumpulkan kesadarannya yang belum terkumpul kurasa. Dia lalu menatapku. Begitu datar. Dan aku, risih. "Hei, ayo makan."

Dia menggeleng. "Aku tak lapar." Aku buru-buru memegang bahunya saat tahu ia akan kembali tidur.

"Ku mohon. Makanlah walau sedikit. Aku benar-benar mengkhawatirkanmu." Lirihku. Astaga, kenapa aku terdengar begitu menyedihkan.

Nita menaikkan alisnya. Sedetik kemudian ia bangkit untuk duduk. Menyenderkan punggungnya pada kepala kasur lalu menatapku. "Kau mengkhawatirkanku?"

Suaranya terdengar begitu kecil. Apa ini karena ia belum memasukkan makanan ke dalam perutnya atau karena ia sedang bersedih?"Of cource i'm." Aku menjawab mantap.

"Kenapa kau mengkhawatirkanku, Juny?" Tanya Nita padaku.

Astaga, apa lagi ini. Apa dia masih meragukan sikapku padanya.

"Nit, aku tak tahu apa yang ada di pikiranmu saat ini. Tapi, aku datang ingin menjelaskan semuanya padamu. Semuanya."

"Apa yang ingin kau jelaskan?"

Saatnya dimulai. Introgasi. "Tanyakan apa keraguanmu padaku. Dan aku akan menjawab semuanya."

Dia menatapku dengan tatapan yang terlihat seperti tak percaya. Lalu ia berdehem, mencoba mengembalikan raut wajahnya seperti biasa. "Baiklah. Apa alasan kau datang ke Indonesia?"

"Aku mencari Steve."

Dia mengulum bibirnya sebentar. "Jelaskan lagi. Lebih rinci." Aku menatap pada jendela luar yang ternyata gordennya belum tertutup. Itu langsung tertuju pada halaman belakang tempat kami melakukan acara barbeque siang tadi.

SILENT LOVE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang