Chapter - 22

3.5K 48 3
                                    

  Seorang gadis, sedang duduk termenung di teras rumah menatap bintang-bintang yang se-akan tersenyum ramah kepadanya. Kesedihan yang melingkupinya setelah ditinggal sendiri di Makassar oleh kedua orang tuanya, sedikit demi sedikit mulai terobati.

Dengan kesibukan yang ia jalani baik di kampus maupun di tempat kerjanya, mampu mengikis perlahan-lahan rasa gundah di hatinya.

Ia tersenyum sendiri mengingat nasibnya yang seperti ini, namun tanpa ia sadari semakin hari justru semakin membuatnya menjadi seorang perempuan yang mandiri.

Saat masih melamun dengan berbagai macam pikiran di kepalanya, tiba-tiba ponselnya berdering adanya panggilan masuk. "Sinta..." Ia bergumam dalam hati, saat melihat nama si penelfon.


"Ya halo nek." Senyum terkembang di bibirnya, saat mengangkat telpon.

"Loe dimana?"


"Dirumah, kenapa gitu?" Gadis itu menjawab, sambil memijat-mijat kakinya sendiri.

"Ohh, mau jalan gak?" Mendengar ajakan dari Sinta, keningnya mengerut sesaat.

"Emangnya mau kemana?" Tanya-nya.

"Pokoknya nongkrong... lagian, gue juga lagi boring nih."

"Ya sudah," Kata gadis itu. "Loe mau jemput gue, atau gue jalan sendiri?"

"Gue jemput yah... setengah jam lagi gue sampai."


Setelah menutup telpon, gadis bernama Reni itu segera beranjak untuk berganti pakaian.



Beberapa saat kemudian...



Disebuah café yang terletak di Jalan Kakak Tua, ROUTE89 menjadi pilihan kedua gadis yang baru saja turun dari mobil.

Mereka memilih meja yang berada di lantai 2, yang keadaan-nya tidak begitu ramai. Segera pelayan resto menghampiri mereka saat baru saja duduk. "Malam, mau pesan apa?" Suara sapaan dari pelayan resto membuat Sinta menoleh.

Senyuman tersungging dibibir Sinta saat melihat wajah sang pelayan. "Hmm," Sinta berdehem dan lengannya menyenggol pelan gadis di samping-nya yang sedang sibuk bermain HP.


"Apaan sih loe." Gadis itu menoleh, merasa heran dengan kelakuan Sinta di samping-nya.

"Hehehe, gak... oh iya, Mas..." Sinta menatap wajah pelayan itu. "Nama loe bukan Ajie kan?"


Degh!!! Reni menoleh ke pelayan itu, membuat keningnya mengerut karena mendengar apa yang dikatakan oleh Sinta.

"Bukan Mba... hehe," Jawab Pelayan itu penuh kesopanan. "Mau pesan apa Mba?"

"Hmm, gue pesan Avocado Coffee aja yah Mas." Segera, pelayan itu mencatat pesanan Sinta.

"Kalau Mba-nya?" Reni menoleh kembali, saat mendengar pertanyaan dari pelayan itu.

"Gue, Green Tea Late aja yah Mas... satu lagi, gak pake lama." Jawab Reni.


"Di tunggu yah. Thanks," ujar Pria itu tersenyum, lalu membungkuk sesaat sebelum ia beranjak dari meja tersebut untuk menyiapkan pesanan kedua gadis itu.

Tatapan penuh arti yang Reni dapatkan setelah pelayan itu telah pergi. Kerutan dikeningnya menandakan bahwa ia bingung atas tingkah gadis di sampingnya.

"Loe kenapa nek?" Reni, mencoba bertanya.

"Loe gak sadar? Tuh cowok mirip banget dengan Ajie."

"Masa sih?" Mata Reni kembali memperhatikan pria yang di maksud Sinta. Kemudian, kembali melihat ke gadis disampingnya. "Beda ah... gak ada mirip-miripnya kaleee nek."


"Hmm, kalo menurut gue sih... mirip." Kalimat yang di ucapkan oleh Sinta barusan, membuat Reni berfikir sesaat. Lalu menatap heran wajah Sinta dengan pertanyaan di benaknya saat ini.


Kenapa Sinta tiba-tiba mengingat pria itu?

Seberapa dekat-kah dia dengan Sinta?


"Udah... nih kening lama-lama makin banyak kerutannya tau." Sinta menyentuh kening Reni. "Lagian, loe lagi mikir apaan sih?"

"Eh... Hehehe, gak ada." Reni mencoba berkelit agar tak melebarkan pertanyaan nantinya.


Mereka terdiam...



Sambil mencoba menyibukkan diri masing-masing dengan bermain HP. Dan tak lama, pesanan mereka tiba di antarkan oleh pelayan tadi. "Permisi." Pria itu kembali menyapa.

"Eh... iya mas." Ujar Reni yang paling pertama menyadari kedatangan pria itu. "Taruh di situ aja."

"Iya." Pria itu tersenyum ramah.


Sekali lagi Sinta memandang wajah pelayan itu, Reni yang duduk disampingnya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Sinta.

"Mas, temen gue suka ama loe tuh." Reni tersenyum licik membuat Sinta mencibirnya.

"Enggak lah Mas, enak aja... hehehehe, gak usah di ambil hati yah mas kata teman gue... maklum, dia lagi stress." Jawab Sinta, namun pria itu hanya mengangguk sopan di hadapan kedua gadis itu.

"Udah semua pesanannya yah Mba." Ujar pria itu sambil mencoret-coret sebuah kertas yang ia tempelkan di sudut meja.

"Masih kurang mas." Ujar Reni membuat pria itu menatapnya dengan kebingungan.

"Kan hanya ini saja yang mba pesan." Kata pria itu dengan suara pelan.

"Tuh teman gue... loe lupa ngasih nomor HP loe ke dia... hihihihi," Jawab Reni sembari nyengir di hadapan pria itu.

"Geblek loe Ren..." kata Sinta. "Tapi, boleh juga tuh mas..."

"Boleh apaan Mba?" Tanya pria itu masih dengan senyum menawannya.

"Nomor HP loe... nih mas-nya dodol juga ye nek." Kata Reni di akhiri dengan sebuah ledekan.


"Hahahahaha, bener-kan Mas. Temen gue lagi stress."

"Gak juga kok Mba, yang ada... teman mba-nya cantik banget. Masa iya, dia cewek stress." Kata pria itu mencoba sebuah jurus rayuan gombal.


Reni speechless mendengar ucapan pria itu.


"Hahahaha, pinter juga loe nge-gombal." Ujar Reni kemudian, pria itu hanya bisa nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ya sudah, saya permisi dulu yah mba..." karena malu, maka pria itu berpamitan ke mereka berdua.

"Nomor-nya mana?" Tanya Reni.

"Eh... beneran mau nomor HP saya?" Tanya pria itu memastikan.

"Yaelah... iyalah beneran. Masa, gue bercanda." Jawab Reni membuat Sinta tersenyum geli mendengar suara Reni yang cempreng.

"Hahaha, aslinya keluar tuh Mas." Ujar Sinta. "Buruan dikasih, sebelum dia berubah jadi nenek lampir."

"Ngehe loe Sin... kan gue minta-in buat elo kali."

"Yakin loe?" Tanya Sinta membuat Reni kikuk.

"Eh... i-iyalah yakin... kalo gak mau, udah... pergi aja sana mas."


"Gak usah sewot kale non." Ujar Sinta menyeringai. "Udah mas, mana nomor HP loe." Lanjutnya kemudian.


Pria itu yang sejak tadi hanya berdiri sambil bingung melihat tingkah kedua gadis itu, segera menyebutkan nomor HPnya. Sinta, segera menyimpan nomor itu di kontak ponselnya.

"Thanks yah mas." Kata Sinta.

"Iya mba, kalo gitu saya permisi dulu yah."


"Oke..." Jawab Reni dan Sinta yang hampir bersamaan.


Se-gelas Green tea late membasahi tenggorokan gadis berparas ayu dengan satu lesung pipi di pipi kirinya. Karena rasa penasaran di benaknya yang muncul tiba-tiba, ia kembali memandang pelayan itu. "Hmm, mirip... tapi dikit sih." Gumammnya dalam hati, lalu kembali menyeruput minumannya.

"Bener kan kata gue?" Sinta yang menyadari bahwa Reni baru saja melihat pria itu, hanya menyeringai.

"Bener apaan?"


"Beneran mirip..." Ujar Sinta tersenyum.

"Hmm, dikit." Reni menjawab dengan cuek.

"Eh iya... gimana kerjaan loe?"

"Yah... lumayan lah. Hehehe," jawab Reni.


"Ajie... apa dia sering menghubungi elu?" Sebuah pertanyaan dari Sinta, membuat tubuh Reni tiba-tiba bergetar.

Gelengan pelan kepala Reni menjawabnya. Membuat Sinta hanya bisa menarik nafasnya mengetahui hubungan mereka yang tak ada ujung pangkalnya.

"Kenapa, gak loe SMS aja... nanyain kepastian dari dia." Kata Sinta.

"Hmm," Sesaat, gadis itu berfikir kembali. Ya, memang benar apa yang dikatakan Sinta barusan.

Reni sampai sekarang masih bingung, karena sebenarnya apa alasan dia mempertahankan pria itu? mengapa ia mempertahankan hubungan yang tanpa kejelasan sama sekali.


"Gak tau juga Sin... tapi, jujur gak tau kenapa bayangannya selalu hadir di pikiran gue. Fiuhhhhh... padahal gue dah berusaha ngelupain dia tau." Kata Reni, dengan menatap hampa membuat Sinta yakin bahwa sebenarnya Reni masih mencintai pria itu.

"Gue gak tau, apakah ia menyayangiku juga atau tidak." Kembali suara Reni terdengar pelan. Sinta hanya bisa diam sambil menahan nafasnya.

"Bentar... biar gue yang telpon." Ujar Sinta yang baru saja terpancing emosinya. Ia segera meraih ponselnya, membuat Reni menoleh.

"Loe ngapain nelpon dia?"

"Udah... mending loe diam aja." Ujar Sinta membuat Reni menghela nafas.


Suara panggilan masuk terdengar, saat Sinta me-loadspeaker HPnya.



"Halo..."

Degh!!! Suara itu. Suara seseorang yang membuat tubuh Reni bergejolak.

Sinta menoleh sesaat, dan tersenyum sambil mengangguk pelan.


"Ini Ajie yah?" Sinta bertanya.

"Iya, ini siapa?"


"Gue Sinta Ji." Jawab Sinta, dan Reni yang berada di sampingnya hanya bisa diam.

"Sinta... hmm,"

"Ya elah... masa loe dah lupa ama gue." Kata Sinta sedikit kesal.

"Oh... Sinta temannya Reni yah?"

"Iyalah," Kata Sinta. "Oh iya, loe lagi sibuk gak?"

"Gak juga... nih, lagi nyantai aja di kosan." Jawab Ajie membuat Reni hanya gelengkan kepala. Dalam hatinya bertanya-tanya, kenapa kalau dia yang nelpon malah tidak pernah di angkat oleh pria itu.

"Oke, gue langsung aja... loe sebenarnya sayang gak sih ama sahabat gue?"


Mata Reni membulat, ia menatap Sinta dengan wajah ketidaksukaan. Namun, Sinta hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Wait..." Reni melihat gerakan bibir Sinta untuk menyuruhnya menunggu.


"Hmm, gak tau Sin... kenapa kamu nanyain masalah itu?" Tanya Ajie.

"Karena loe udah gantungin hidup teman gue tau... loe kasih kepastian donk. Jangan hanya di diemin kek gini." Jawab Sinta penuh kekesalan.

"Reni ada di situ?"



Degh!!! Kembali jantung Reni berdetak kencang. Mereka saling menatap sesaat, kemudian Reni mengangguk mengartikan sesuatu.

"Iya... dia lagi di samping gue." Jawab Sinta kembali, dan terlihat gadis di sebelahnya menahan nafas dan merasa cemas dengan apa yang akan pria itu katakan selanjutnya.

"Fiuh..." Terdengar suara Ajie, baru saja menghela nafas. "Ren... maafin Ajie kalo selama ini sudah membuat kamu susah."



"Sejujurnya... aku selama ini memang sengaja menjauh dari kamu. Dan, sengaja tidak mengangkat telpon kamu."

Mata Reni mulai berkabut, dadanya terasa sesak. Ia tak bisa menyangkal bahwa memang ia merindukannya, orang yang sangat ingin dilupakannya. Tetapi, entah mengapa justru pria itu selalu hadir dalam bayangannya selama ini.


"Ke-kenapa loe lakuin itu Ji?" Reni yang akhirnya bersuara membuat Ajie terdiam. "Kenapa ji?"


Sinta menoleh sesaat, lalu mengelus lembut pundak Reni untuk memberikan ia kekuatan.

"Kenapa loe gak jawab?" Reni kembali bertanya.



"Maafkan Ajie..." Suara Ajie begitu pelan terdengar, bahkan Reni yang mendengarnya merasakan detak jantungnya makin kencang.

"Terus? Udah... gitu aja?" Kata Reni, sambil mengepalkan ke dua tangan berusaha menahan gejolak di dadanya.



"Kita..."



Deg...Deg...Deg!!! Ke dua gadis itu merasakan aura yang tidak menyenangkan, dan sesuatu yang sepertinya akan terjadi saat Ajie seperti sengaja menggantung ucapannya.


"I-iya kita ke-kenapa Ji?" Tanya Reni dengan bibir bergetar.



"Sudahi aja yah hubungan ini..."


DEGH!!! Seketika tubuh Reni menjadi lemas hingga ia tak sanggup lagi harus berbuat apa. Ia menunduk di hadapan sahabatnya, yang ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Reni. Napasnya-pun kini sesak setelah menyadari bahwa harapannya sudah musnah. Sebuah kalimat yang ia dengar dari pria itu sudah menjawabnya.


"Baik Ji... Thanks for everything..." Tut...Tut...Tut!!! Reni segera menutup telponnya.


"Loe... yang sabar yah." Kata Sinta. Namun, perubahan tiba-tiba ia lihat di wajah Reni.

Reni tersenyum. Bahkan, sepertinya merasa lega setelah mendengar kata Ajie di telpon.


"Udah kan... hehehe, akhirnya berakhir juga nih hubungan." Kata Reni mencoba cuek dan tersenyum.


Sinta hanya menatapnya.


Sebisa mungkin Reni menahan rasa pilu di dadanya. Hatinya terasa begitu sakit. Reni merasa telah menjadi orang paling bodoh di dunia karena begitu mudahnya dipermainkan oleh satu orang pria yang sangat dipercayainya.

"Loe baik-baik aja Ren?" Ujar Sinta kembali menyentuh lengan gadis itu. Namun ekspresi kosong ditunjukkan oleh Reni saat ia menoleh.

"Iya Sin, gue baik-baik aja kok." Sebuah senyuman keterpaksaan di tunjukkan oleh gadis itu.

"Mungkin... dia memang bukan yang terbaik buat loe Ren." Ujar Sinta, namun kenyataan yang ada dalam pikirannya saat ini sangat berbeda. Ia yakin, ada sesuatu yang Ajie sembunyikan saat ini.



Bukan...

Ini Bukan seperti Ajie yang ia kenal sebelumnya.

Pasti ada alasannya kenapa Ajie melakukan semua ini. Seringaian tipis tersirat diwajahnya, "Ji... Gue bakalan cari tau, apa alasan loe mutusin sahabat gue."Benaknya saat ini.


"Loe... sabar yah." Kembali Sinta menenangkannya.

Wajah Reni memang sedang tersenyum. Bibirnya pun terlihat sedang ia gigit sendiri, namun tiba-tiba kedua matanya kelilipan. "Duh...duh.., nih mata kok berkedip-kedip." Suara serak menandakan sebentar lagi sesuatu akan mengalir dari kedua matanya.

"Loe kenapa?" Tanya Sinta, namun sepertinya ia mengetahui apa yang terjadi.

"Gak tau... duh, hehehehehe... nih mata kok kelilipan melulu ihhhh."


Sinta menatapnya penuh haru.

Sedetik kemudian, kedua mata Reni meneteskan air mata. Namun di wajahnya masih terlihat sebuah senyuman.

"Loe nangis nek..." Ujar Sinta begitu pelan.

"Gak tau... ih bodoh banget sih gue." Ujar Reni mencoba mengusap air matanya.

"Sabar yah..."


"Hikz...Hikz... Ihhhhh, sudah ah... Reni GOBLOKKKK sudaaahhh... berhenti tangisin dia." Suara Reni terdengar parau, dan tingkahnya terlihat sangat menyedihkan di hadapan Sinta.

Dimana gadis itu masih berusaha melawan rasa sakit di dadanya. Dan kedua tangannya masih saja berusaha menghentikan air matanya.

Sinta masih saja menatapnya. Setiap Reni menoleh, Sinta hanya melemparkan sebuah senyuman.

"Gue bodoh banget yah Sin." Sinta hanya menggelengkan kepalanya.

"Hikz...hikz... ta-tapi, gue gak tau kenapa gue bisa se-sedih ini." Kata Reni kembali.


"Nih tissue..." Kata Sinta sambil memberikan tissue ke Reni.

"Pulang yuk." Kata Reni pelan sambil mengusap wajahnya dengan tissue.

"Hmm, mau nyari sesuatu untuk nenangin hati loe gak?" Tanya Sinta membuat Reni menghela nafas.

"Bo-boleh deh..."


"Yuk kalo gitu." Mereka berdua akhirnya meninggalkan café itu dengan perasaan yang tak menentu. Reni merasakan pilu di hatinya, sedangkan Sinta merasa penasaran dengan Ajie.




Don't Give UpWhere stories live. Discover now