Chapter 26

3.2K 64 7
                                    


Setelah mendengar kabar tentang pesawat yang ditumpangi Mitha dan ibunya telah hilang setelah lepas landas, Ajie masih seakan tak percaya dengan kabar tersebut. Malam ini, dia segera membangunkan Dea yang sejak tadi masih tertidur di atas ranjang dalam kamar kosannya.

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi menuju Bandara, dan Dea yang sejak tadi hanya diam duduk di samping Ajie.

Ajie menoleh sesaat, dengan rasa sesak didadanya. "Dek..."

"Ya ayah." Anak itu menoleh dengan senyuman, namun cukup buat Ajie kembali merasakan pilu dihatinya.

"Dedek, sayang sama ayah kan?"

"Iya dong yah... Dea, sayang banget ama ayah."


Ajie menghela nafas dan sekilas tampak kedua matanya berkaca-kaca memikirkan tentang semuanya. Ia menyentuh kepala anak itu penuh kasing sayang, lalu segera fokus ke jalan.


10 Menit kemudian, mereka tiba di Bandara, dan terlihat keadaan di Bandara sudah sangat ramai oleh para pengunjung. Ajie segera menggendong Dea dan melangkah dengan tergesa-gesa menuju ke tempat keramaian.

Ternyata keadaan disini penuh dengan duka, dimana semua pihak keluarga para penumpang pesawat yang hilang tersebut sudah pada berkumpul untuk mencari informasi kebenaran hilangnya pesawat tadi siang.


"Turun dulu yah dek..." Ajie menurunkan Dea, lalu memandang ke sekeliling mencari sesuatu yang mungkin saja bisa membantunya memberikan informasi yang lebih detail


Suasana mengharukan malam ini, membuat Ajie hanya bisa menahan nafasnya yang mulai kembali terasa sesak.

Beberapa keluarga para penumpang pesawat Li*n Air terlihat sudah menangis, ada yang histeris, ada juga yang sudah terlihat tak sadarkan diri saat mendengar kebenaran kabar itu.

Tubuhnya mulai terasa bergetar, kedua tangan Ajie mulai basah oleh keringatnya. Dan jantungnya berdetak kencang melihat suasana di Bandara International Sam Ratulangi.

Sekilas ia melirik ke Dea. Anak itu masih saja kebingungan melihat keramaian. Sungguh, anak yang sangat malang. Dimana dengan umur yang masih sangat belia harus di tinggal oleh kedua orang tuanya. Benak Ajie saat ini.


Akhirnya Ajie memberanikan diri bertanya ke salah satu petugas yang memakai seragam yang sama dengan jenis pesawat yang hilang.


Beberapa saat Ajie mendengarkan penjelasan dari pria itu.

Ternyata pesawat itu memang benar telah menghilang setelah lepas landas beberapa menit dari bandara Manado. Dan sampai sekarang pesawat tersebut masih belum bisa diketemukan keberadaannya.

Seketika itu, tubuh Ajie menegang. Masih berusaha menahan rasa sesak yang kembali menderanya. Ia menatap wajah petugas itu dengan mata yang memerah.

"Maaf Pak, dan sampai saat ini pihak perusahaan masih berusaha keras mencari tau dimana letak jatuhnya pesawat ... dan, mohon maaf kembali... kami dari pihak perusahaan sangat menyesal dan turut berduka dengan musibah yang menimpa keluarga bapak."

"Kenapa kalian bisa mengambil keputusan untuk menerbangkan pesawat saat dimana hampir semua perusahaan penerbangan menunda keberangkatan... KENAPAAAA???" Ajie memegang kerah baju petugas itu dengan penuh emosi. Namun, petugas itu hanya bisa terdiam dan wajah penuh penyesalan.

"Maaf Pak..." Hanya itulah kalimat yang bisa di ucapkan petugas itu.


Dea yang melihatnya segera mendekat, lalu menyentuh pinggang Ajie. "Yah... kenapa?"

"Bangsattttt..." Ajie mengumpat, lalu mendorong tubuh petugas itu.

"Maaf Pak,"

"Sudah, pergi sana." Kata Ajie, lalu petugas itu meminta permisi dan meninggalkan Ajie yang masih emosi.


Saat petugas itu telah pergi, Ajie masih saja menatapnya. Namun, saat Dea kembali menyentuhnya. Tiba-tiba, pandangannya mulai meredup dan seketika itu Ajie mencoba menahan rasa kepedihannya karena ia tak mau menunjukkan di hadapan Dea yang sampai saat ini masih belum tau apa-apa.

"Ayah... kenapa ayah marah-marah?" Tanya Dea kembali, membuat Ajie menoleh ke samping dan sedikit menunduk memandang wajah anak itu.


Sesaat Ajie mengusap wajahnya, lalu berjongkok di hadapan Dea.


"Yah... kenapa?" tanpa menjawab, Ajie segera memeluk tubuh anak itu dengan penuh kesedihan.


Ajie mengingat semua kenangannya bersama Mitha.


Bahagianya ketika mulai merajut kasih sayang dengan Mitha...

Mengingat kenangan bersama wanita itu beberapa hari di Manado. Menghabiskan waktu bersama-sama dan berjanji antara satu sama lain akan secepatnya menyatukan hubungan ini di dalam tali pernikahan.

Walaupun Ajie sampai saat ini masih belum yakin, apakah dia mencintai Mitha atau tidak. Namun, ia tidak perduli dengan semua ini. Karena yang pasti, ia menyayangi Dea yang entah sejak kapan rasa itu telah muncul di dalam dirinya.

Mitha mencintai Ajie, sangat cinta. Itu yang Ajie tangkap dengan perhatian dan kasih sayang yang ia dapatkan dari wanita itu.

Dan Ajie tidak pernah menyangka mereka bisa seserius ini. Dulu, dia menyangka bahwa seorang Mitha tidak akan pernah dia gapai, namun setelah mengetahui tentang kebenaran bahwa wanita itu adalah seorang wanita janda beranak satu. Maka membuat hubungan mereka makin intim.

Mereka juga sudah merajut impian untuk masa depan. Menikah dan punya anak, lalu berbahagia untuk selamanya. Bahkan Ajie-pun sudah menunjukkan keseriusannya dengan mengajaknya liburan di Manado, bertemu dengan ibunya. Dan berjanji saat nanti sudah di Makassar, ia akan mengenalkannya ke keluarga besarnya.



Namun...

Hari ini...


Semuanya telah sirna. Hatinya mulai menangis, walaupun ia berusaha tidak menunjukkan ke Dea yang masih berada di pelukannya. Sungguh-sungguh Ajie merasakan sebuah penyesalan tentang semuanya.


Ini salah dia...


Yah, andai saja dia tidak mengajak Mitha ke Manado, mungkin kejadian ini tidak akan pernah menimpa kedua perempuan itu...

Hatinya masih menangis mengingat semuanya. Beberapa petunjuk dari Mitha. Beberapa firasat yang ia dapatkan, kenapa ia tidak bisa membaca semuanya?

Bahkan, saat detik-detik perpisahan mereka siang tadi. Ajie masih tidak ikhlas untuk melepasnya. Sungguh, perasaannya saat itu sudah sangat tidak enak.

Semua itu adalah firasat bahwa akan ada kejadian yang bakalan menimpanya, ataupun menimpa orang terdekatnya.


"Ayah..." Suara Dea, terdengar pelan membuyarkan lamunannya.


"Maafkan ayah yah." Hanya kalimat itu, yang bisa terucap di bibirnya.


Ajie memandang wajah anak tidak bersalah itu di hadapannya.

Sebuah senyuman yang entah kenapa tidak mampu menghiburnya.


"Ayah sayang sama Dea... sayang banget." Kembali Ajie memeluk tubuh Dea. Menumpahkan semua rasa sayangnya kepada Dea.


Ini salahnya...


Ini mutlak kesalahannya. Telah membuat anak itu kehilangan Mamahnya.

Dan, mulai saat ini. Ajie berjanji dalam hati. Tidak akan pernah meninggalkan Dea sendiri. Tidak akan pernah membuatnya bersedih. Dan tidak akan pernah meredupkan senyuman itu. Senyuman dari seorang anak yang sangat di cintainya. Dia akan berdiri di samping anak itu. Menjadi seorang ayah dan juga seorang pahlawan yang akan selalu menjaganya.


Ajie melepaskan pelukannya, lalu menatap kembali wajah Dea.

"Ini ayah Dea... dan, ayah akan menyayangi Dea sampai kapan-pun." Gumamnya pelan.

"Ayah... Mamah, belum pulang yah?"



DEGH!!! Ajie terdiam dan dadanya sungguh sangat terpukul mendengar pertanyaan Dea.

Sesaat Ajie masih menatapnya, lalu ia mencoba melempar senyum sambil memegang kedua lengan anak itu.

"Ma-mah... masih dikantor sayang." Gumam Ajie dengan bibir bergetar. "Dedek, mau makan sama ayah?"

"Iya yah, Dea lapar." Jawab anak itu, membuat Ajie mengangguk pelan.

"Yuk sayang... mulai sekarang, kalau Dea butuh apa-apa... ngomong ama ayah yah." Kata Ajie lalu kembali memeluk tubuh Dea sesaat, kemudian bersama-sama melangkah meninggalkan bandara. Meninggalkan orang-orang yang masih berduka. Karena, Ajie tak ingin larut bersama dan menyalahkan siapapun atas kejadian kali ini.

Karena, kembali lagi. Semua ini adalah kesalahan dia.

Mungkin, Ajie akan berusaha sebaik mungkin untuk menjaga amanah Mitha dan ibunya yang dititipkan ke dirinya. Menjaga dan menyayangi Dea selamanya.





Beberapa saat kemudian...


Ajie dan Dea akhirnya kembali ke kosan, sehabis makan malam bersama. Dan tak lupa mereka singgah di mini market terdekat, untuk membelikan beberapa perlengkapan untuk anak itu.

Dea segera naik ke atas ranjang, dan Ajie sesaat menyalakan AC dalam kamarnya. Lalu, menoleh ke anak itu.

"Ganti baju dulu dek." Kata Ajie tersenyum.

"Eh iya, hehehe..." Dea segera berdiri, lalu Ajie mendekat ke ranjang.

"Sikat gigi dulu yuk... nanti, banyak kuman di giginya." Kata Ajie mengelus lembut lengan Dea.

"Ih, emangnya sebelum tidur harus sikat gigi dulu yah?" Tanya Dea heran.

"Iya dong... biar bersih." Ajie menjawabnya, dan berusaha tetap tersenyum walau dengan hati yang sesak. "Yuk sayang."


Setelah dari kamar mandi, Ajie menggantikan pakaian Dea menggunakan pakaian tidur. Dengan sabar dan lembut, Ajie membantu anak itu, bahkan tak lupa memberikan minyak telon di perut Dea biar hangat. Dan, ini baru awal. Karena Ajie telah berjanji akan memberikan semua perhatiannya kepada anak itu.

Kemudian Ajie menuntun Dea untuk berbaring di atas ranjang. Lengan kirinya ia gunakan untuk menopang kepala anak itu. Lalu menarik tubuh Dea dipelukannya, memberikan kehangatan dan kasih sayang sebagai seorang ayah.

Ajie menyempatkan mengecup kening Dea, "Bobo yah sayang... besok, kita pulang ke Makassar." Gumamnya lembut, dan entah Dea mendengarnya atau tidak. Karena anak itu sudah memejamkan mata dan tak lama akhirnya telah tertidur dalam pelukan Ajie.

Setelah merasa bahwa Dea sudah tertidur nyenak, Ajie mengangkat kepala anak itu lalu mengganti lengannya dengan sebuah bantal. Dengan sangat pelan, Ajie beranjak dari tempat tidur.


Ia membelakangi Dea, lalu menatap keseluruhan kamarnya.


Ingatannya kembali lagi ke saat-saat bersama dengan Mitha.

Kamar ini, telah menjadi saksi kemesraannya beberapa hari yang lalu.

Melepaskan semua perasaannya, menyatu dengan benihnya yang ia sematkan ke dalam tubuh wanita itu.

Masih sangat terasa, kelembutan yang ia dapatkan dari wanita itu.


Sentuhannya...

Kasih sayangnya...

Perhatiannya...


Meningat semua itu, membuat tubuhnya bergetar.

Ajie mencoba menahannya. Menahan rasa sedih yang menghinggapinya.

Namun, ia adalah seorang manusia biasa. Yang tidak akan pernah kuat menahan semuanya.


Ia merindukannya.


Ajie melangkah menjauh dari ranjang. Lalu, saat baru tiga langkah.



Isakan itu terdengar.


Yah, pria itu menangis. Dan kali ini benar-benar menangis sepenuh hati, suaranya penuh kedukaan dan kesakitan, duka yang membuat bahunya berguncang dengan keras.

Ia tak tahan lagi, sangat sakit yang ia rasakan. Ia terduduk lalu menyandar di tembok. Kemudian kedua tangannya memegang wajahnya yang telah basah oleh linangan air matanya.

Ajie rapuh. Dan ini yang tidak ia tampakkan di depan Dea.

Berkali-kali ia menarik rambutnya sendiri, memukul-mukul dadanya karena kesakitan ini. Sangat-sangat menyesal dengan semua ini.

Hingga tak lama, tubuhnya terjatuh kesamping. Lalu meringkuk menahan isaknya dengan nafas yang sesak.

Entah sejak kapan, pria itu akhirnya sudah tertidur dibawah dengan posisi meringkuk memeluk kedua kakinya yang ia tekuk.




Don't Give UpWhere stories live. Discover now