1

26K 620 9
                                    

Lebaran adalah salah satu hari yang membahagiakan bagiku, namun juga menakutkan. Aku akan bertemu dan berkumpul dengan keluarga besarku, dan tentu saja akan ada obrolan-obrolan ringan yang akan terjadi. Obrolan ringan bagi mereka, tapi sangat berat bagiku. Pertanyaan kapan nikah dan sejenisnya akan terus bertebaran sepanjang pertemuanku dengan mereka.

Dulu, hal itu akan sangat membuatku gerah. Sekarang, hal itu justru membuatku takut.
Melihat teman dan keluargaku berkumpul, sepupu-sepupu yang jauh lebih muda dariku menggendong anak dan menggandeng suami, sungguh membuatku iri. Aku ingin menggendong bayi mungil juga. Menikmati kulitnya yang lembut, memandang wajahnya yang merah, mendengar tangisannya, bahkan aku iri menggantikan popok mereka.

"Hey, melamun terus dari tadi." Tiba-tiba Adrian sudah duduk di depanku. Dia adalah sahabat kakakku dari SMA, sudah dianggap keluargaku sebagai bagian dari keluarga. Tak jarang dia menginap di rumah ini.

"Ah, kau sudah kembali ke Indonesia ternyata," kataku sambil menyembunyikan malu karena tertangkap basah telah melamun olehnya. Di suasana ruangan yang ramai ini, akan sangat memalukan ketahuan aku melamunkan ke-iri-an ku pada sepupu-sepupuku.

"Tentu saja. Mana mau aku lama-lama bekerja di luar negeri dan meninggalkan masakan mommy." Dia berkata seperti itu sambil memandang sendu ke arah ibuku.

"Kenapa kau suka sekali memanggil bunda dengan mommy? Rasanya aneh. Kita di kampung tapi kau memanggil sok bule."

"Karena aku memang bule," katanya sambil tertawa. Yah, Adrian memang bertampang bule, tapi dia tidak pernah cerita tentang keluarganya.

"Bule mana yang hobinya makan jengkol dan pete," cibirku menghilangkan penasaranku yang selalu muncul soal keluarganya.

"Bule yang ini," tawanya. "Jujurlah Na, kau tadi sedang melamunkan apa?"

Sial. Padahal aku sudah berusaha mengalihkan topik ke yang lain, tapi dia justru membalikkan topik ke lamunanku lagi.

"Aku tidak melamun,"elakku.

"Jangan bercanda, kau tak bisa membohongiku. Apakah mereka masih menanyakan soal kapan kau akan menikah?"

Jleb, aku kena telak. Kenapa orang ini tidak bisa berbasa-basi sedikit saja sih.

"Tidak," aku masih berusaha mengelak. "Aku hanya memikirkan pekerjaan yang lupa aku selesaikan sebelum pulang ke rumah."

"Hahaha.. kau kira kau bisa menipuku? Kau tidak ingat bahwa selama ini kau selalu gagal berbohong padaku?"

Sial, dia memang benar. Aku masih bisa membohongi kakakku yang terlalu naif itu, tapi sahabatnya ini memang sungguh sulit untuk dibohongi.

"Bisakah kita tidak usah membahasanya?" mohonku. "Aku masih lelah. Baru tadi malam aku sampai rumah. Dan jika kau masih ingin membahas topik itu, aku juga akan menanyakan hal yang sama kepadamu."

Aku tahu bahwa topik pernikahan juga sangat dia hindari. Entah kenapa, padahal umurnya sudah 35 tahun. Bahkan kakakku yang merupakan sahabatnya sudah memiliki dua anak balita yang lucu. Yang makin mengingatkanku akan rasa iri ku. Double sial.

Dia tertawa sambil mengangkat kedua tangannya, "Oke.. oke sayang, aku tak akan memaksamu."

"Adrian, anak mommy sudah datang ternyata." Seru ibuku sambil berjalan cepat menghampiri kami.
Hhhh... kenapa bunda suka sekali dengan bule ini sih? Yah memang tidak bisa dipungkiri kalau Adrian selalu bersikap seperti anak laki-laki yang baik kebanggaan keluarga bagi bunda, walaupun sangat menyebalkan karena selalu bisa menebak pikiranku.

Adrian langsung menghampiri bunda dan memeluknya, "Mommy, aku rindu."

Aku yg melihat aksi mereka seolah ibu dan anak yg berpisah bertahun-tahun, hanya bisa memutar mataku. Sebelum aku kembali dengan pikiran iriku soal pernikahan dan anak, ku sibukkan dengan melihat hp ku. Siapa tau ada notifikasi apapun yang bisa menyibukkanku. Dan sialnya, tak ada satupun notifikasi yang muncul.

My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang