Aku sedikit tersentak mendengar perkataan Adrian. Jujur saja aku kaget. Aku tau Adrian kadang suka bercanda gak masuk akal. Tapi kali ini, ku lihat matanya menyiratkan keseriusan. Aku sendiri juga bingung bagaimana harus menanggapi pertanyaannya.
Jika hal ini terjadi sebelum kejadianku dengan Candra, atau mungkin ketika hatiku masih seperti dulu, aku pasti akan langsung mengangguk dan tersenyum malu-malu.
Tapi saat ini, bahkan keseriusan Adrian di matanya tetap membuatku tak percaya. Aku tau Adrian tidak mencintaiku, jadi bagaimana bisa aku menikah dengan dia. Ini berbeda dengan Candra. Dia tidak mencintaiku, dan aku juga tidak mencintainya. Jadi tidak apa-apa kami menikah, karena kami tidak perlu mengikutsertakan perasaan kami. Lagipula toh aku juga cuma ingin punya anak.
Tapi dengan Adrian akan sangat berbeda. Aku pernah mencintainya. Bahkan ketika aku masih belum mengerti tentang kata cinta. Akan terasa perih jika aku menikah dengannya, lalu lambat laun rasa itu muncul lagi, tapi aku tau pasti dia tidak mencintaiku. Apalagi bagaimana jika aku punya anak dengan Adrian. Lalu anak kami mirip dengannya, kemudian kami berpisah?
Aku yakin aku tetap akan mencintai anakku dengan tulus. Tapi tetap saja akan selalu ada Adrian dalam dirinya.
Aku masih diam dan hanya menatap Adrian, yang saat ini masih menatapku.
"Kau bisa dengan mudah mengiyakan lamaran dari Candra yang baru kau temui beberapa bulan. Sedangkan denganku, yang hampir kau kenal seumur hidupmu, kau masih bingung untuk menjawabnya?" Katanya lembut.
"Aku tak ingin menikah denganmu." Kataku akhirnya.
"Dengarkan aku, Na." Dia langsung menggenggam tanganku. Kayaknya hari ini dia sering sekali menggenggam tanganku. "Kau minggu depan harusnya menikah. Semua persiapan sudah berjalan. Bahkan kau sudah punya baju pernikahanmu."
Aku meliriknya tajam. Bagaimana dia tau? "Tak perlu bertanya dari mana aku tau." Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku saja. "Bayangkan saja apa yang akan terjadi. Harga dirimu akan tetap aman karena kau tetap menikah, walaupun mempelai prianya berubah. Keluargamu juga tak akan protes. Biarkan aku yang menjelaskan ke mereka. Aku yakin mommy akan lebih bahagia jika kau menikah denganku daripada dengan Candra."
Kemudian dia menatapku dengan pandangan penuh arti. "Dan kau...," katanya pelan. Dia menarik nafas sebelum melanjutkan. "Kau bisa tetap mendapatkan apapun yang kau mau, bahkan jika menikah denganku."
Aku terkejut mendengar perkataannya.
Tak mungkin kan dia tau tujuanku yang sebenarnya. Keinginan terbesarku mengenai pernikahan.
Aku membuang muka. Tak ingin menatapnya. Ku sentakkan tanganku dari genggamannya.
"Jangan pernah berpikir kau tau segalanya tentangku. Tentang apa yang aku inginkan. Kau tak tau apa-apa tentangku. Bahkan mengenalku seumur hidupmu pun, tak akan membuatmu memahamiku."
Aku hendak berdiri menjauhinya. Namun belum sempat aku beranjak menjauh, Adrian sudah kembali menangkap tanganku.
"Aku belum selesai bicara."
"Aku sudah." Tegasku. Kembali menyentak tangannya.
"Baiklah. Terserah padamu." Adrian akhirnya ikut berdiri. Dia justru berjalan menuju pintu keluar.
Sialan. Kan aku yang ingin menjauhinya. Kenapa aku malah yang ditinggalkan.
"Ingat Na. Jika sampai besok kau masih tidak mau menikah denganku. Jangan salahkan aku jika Doni tau soal kejadian malam ini." Katanya sebelum menutup pintu.
"Adrian brengsek!" Teriakku yang sepertinya tak akan didengarnya.
***
Senin selalu membuatku badmood. Ku rasa bahkan sebagian besar manusia yang tinggal di bumi ini, akan sependapat denganku mengenai hari Senin.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby
ChickLitNamaku Alena, umurku hampir 30 tahun. Kadang ketika melihat sepupu-sepupu ku yang sudah memiliki suami dan menggendong anak, aku sungguh iri. Dengan umur yang hampir mendekati kepala tiga, makin hari keinginan untuk memilik bayi sendiri begitu kuat...