Aku memesan espresso kepada pramusaji yang datang menanyakan pesanan.
Mungkin tingkat kebodohanku sedang tinggi. Sudah jelas aku tidak boleh minum kopi, tapi aku justru memesan espresso. Rasanya aku hanya ingin menenangkan diri. Dengan espresso aku berharap penjelasan Candra nanti tidak akan lebih pahit dari kopi ini.
Aku hanya memandang lurus ke depan. Berharap wajah yang ku tunjukkan baik-baik saja.
Sedikit kurasakan punggungku yang meremang, seolah-olah ada yang sedang menatapku dari belakang. Tapi ketika aku menoleh ke belakang, tidak ada orang yang menatapku.
Bahkan sepertinya tidak ada orang yang ku kenal di kumpulan orang-orang yang duduk di belakangku itu. Mereka terlihat seperti sedang asyik mengobrol dan tidak menghiraukan sekitarnya.
Aku kembali menoleh ke depan, dan kulihat Candra berjalan ke arahku. Sendirian.
Dia langsung duduk di depanku, tapi tidak menatapku sama sekali. Dia sibuk melihat ke sekeliling cafe ini.
"Kau ingin pesan apa?" Tanyaku menarik perhatiannya.
Dia menoleh ke arahku dan sedikit berdehem sebelum berkata. "Tidak usah. Aku hanya ingin bicara dan menjelaskan sesuatu."
Aku hanya diam menatapnya, menunggu dia meneruskan kalimatnya.
"Sepertinya aku berutang maaf padamu." Katanya pelan.
"Kenapa?" Tanyaku sedikit bergetar. "Kenapa kau berutang maaf padaku?"
Candra berdehem lagi. Menunduk sekejap, lalu kembali menatapku.
"Wanita yang tadi bersamaku adalah Dewi." Katanya.
"Apakah dia saudaramu?"
Candra melirik ponsel yang dia letakkan di meja. Dengan perlahan dia menatapku lagi.
Aku merasa jengah dengan sikapnya. Apa yang sebenarnya ingin dia katakan?
"Katakan saja apa yang ingin kau katakan." Jelasku.
"Baiklah." Dia menghembuskan nafas sekilas. "Aku dan Dewi dulu adalah sepasang kekasih. Kami berpacaran sejak kuliah. Setahun yang lalu, kami harus berpisah karena dia ternyata dijodohkan oleh orangtuanya. Kami terpaksa berpisah karena ayahnya memaksa dia menikah dengan orang yang dijodohkan dengannya itu."
Aku hanya menatapnya tidak percaya. Aku bahkan bingung dengan perasaanku ini. Aku masih diam dan hanya menatapnya.
Candra balas menatapku sebelum melanjutkan kisahnya.
"Beberapa waktu lalu, ayahnya meninggal. Dan entah mengapa perjodohan itu tidak dilanjutkan."
Candra mencoba menggapai tanganku yang berada di atas meja, namun segera ku tarik tanganku. Aku menunduk menatap kedua tanganku, yang sekarang berada di pangkuanku.
"Maafkan aku Len. Jujur, aku merasa nyaman denganmu. Aku merasa nyaman dengan kebersamaan kita. Kau tak pernah menuntut apapun dariku. Maafkan aku jika selama ini aku hanya menganggapmu pelarian. Aku terlalu patah hati. Dan sepertinya segera menikah adalah keputusan yang tepat untuk melarikan diri."
"Kau..." suaraku sedikit serak. Aku berdehem sebelum melanjutkan bicara. Berharap suaraku kembali normal. "Kau ingin kembali bersamanya?"
Ku lihat Candra menunduk dan kembali melirik hp nya.
"Iya." Jawabnya singkat.
"Tapi seminggu lagi kita akan menikah."
"Maafkan aku Len. Aku tidak ingin kehilangan Dewi lagi. Aku sungguh minta maaf. Apapun akan ku lakukan agar kau mau memaafkanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby
ChickLitNamaku Alena, umurku hampir 30 tahun. Kadang ketika melihat sepupu-sepupu ku yang sudah memiliki suami dan menggendong anak, aku sungguh iri. Dengan umur yang hampir mendekati kepala tiga, makin hari keinginan untuk memilik bayi sendiri begitu kuat...