17

6.8K 374 5
                                    

Aku terbangun karena haus, dan menyadari kalau kasur di sebelahku kosong. Ku lirik jam weker di atas meja yang menunjukkan pukul tiga subuh. Aku mengernyitkan dahi, bertanya-tanya dimana Adrian saat ini. Karena walaupun kami saling diam beberapa hari ini, kami berdua tetap tidur di kasur yang sama.

Mungkin dia sedang nonton televisi karena ada pertandingan bola, pikirku. Yang ku tahu waktu masih SMP, kak Doni sering sekali begadang sampai subuh hanya untuk nonton bola.

Aku berjalan perlahan menuju dapur untuk mengambil minum, karena memang aku terbangun gara-gara merasa sangat haus.

Ketika mendekati dapur, ku dengar suara Adrian yang sedang berbicara. Aku melihatnya sedang mengangkat telepon di tangan kanannya. Saat ini dia sedang menghadap ke jendela depan wastafel, membelakangiku.

Rasanya aku ingin langsung kembali ke kamar. Karena dalam hati kecilku sudah muncul peringatan, bahwa yang akan aku dengar dari pembicaraannya di telepon akan membuatku sakit hati lagi.

Namun seperti kucing yang mati karena penasaran, kaki ini rasanya tidak mau berbalik dan bergerak. Telingaku justru dengan bodohnya terbuka lebar-lebar, berkonsentrasi mendengarkan suara Adrian yang berbicara.

Sambil menahan nafas, aku melangkah pelan ke samping kulkas, agar ketika Adrian berbalik dia tidak akan langsung melihatku.

"Semua akan baik-baik saja, Na. Aku yang akan menghadapi papa." Suaranya mulai terdengar jelas. Entah karena aku sangat berkonsentrasi atau karena suara Adrian yang meninggi. "Aku tidak bisa ke Sydney saat ini. Aku baru balik ke Jakarta, Sayang." Ada jeda sebentar sebelum suara Adrian berubah lembut.

"Aku tahu. Akupun ingin kita tinggal bersama lagi. Tapi kau tahu bagaimana papa kan?" Dia menghela nafas panjang. "Kau tau aku mencintai kalian berdua. Mau seperti apapun kondisinya, Aldi tetap satu darah denganku. Jadi tak perlu kau ragukan lagi kalau aku menyayanginya."

Jantungku seperti merosot turun ketika mendengar kalimatnya. Apakah Adrian tidak hanya memiliki kekasih di Sydney yaitu Viona, tapi juga anak —Aldi, yang baru saja dia sebutkan sebagai satu darah dengannya?

Air mataku sudah mengalir semakin deras. Ku cengkeram dadaku yang terasa sangat sakit dengan tangan kananku, dan tangan kiriku menopang tubuhku di tembok agar aku tidak terduduk lemas.

Samar-samar masih ku dengar Adrian yang masih bicara dengan orang di seberang telepon, bahwa dia menjanjikan akan melakukan yang terbaik untuk mereka dari sini. Dia juga mengatakan akan mengusahakan segera kembali ke Sydney untuk menjemput mereka.

Aku tak kuasa mendengar lebih jauh lagi pembicaraannya. Jadi dengan sedikit limbung dan berjalan perlahan, aku kembali masuk ke kamar. Sudah kulupakan rasa haus yang tadi menyerangku.

Aku meringkuk di tempat tidur dengan selimut menutupi sampai kepala. Dalam diam, berusaha agar tubuhku tidak bergetar apalagi mengeluarkan suara, kukeluarkan semua air mata yang tidak ada habisnya ini.

Baiklah. Sudah jelas kalau Adrian memiliki kekasih dan anak. Dan dia ingin sekali menjemput mereka. Yang artinya mereka akan tinggal bersama. Lagi.

Jadi, apalagi yang tersisa bagiku?
Anak tidak ku miliki, cintapun begitu.

***

Lagi-lagi aku terbangun dengan kepala yang sangat pusing. Badanku terasa agak panas, dan perutku terasa mual.

Apakah karena terlalu banyak menangis, aku akan masuk angin lagi? Pikirku.

Aku bergerak dengan perlahan karena sedikit gerakan saja membuat kepalaku semakin pusing.

Rasanya ingin aku ijin pada Gion untuk tidak masuk kerja lagi. Tapi rasanya sangat tidak bertanggung jawab jika aku masuk dan cuti seenaknya saja. Apalagi jika gara-gara masalah pribadi. Bukankah itu sangat tidak profesional.

My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang