8

7.1K 370 0
                                    

Kami berdua sudah duduk berhadap-hadapan. Aku duduk dengan sedikit gelisah di sofa single, sedangkan Adrian terlihat nyaman di sofa panjang. Ku lirik jam dinding depan tv yang sudah menunjukkan pukul sembilan lewat.

Pembicaraan ini harus segera dimulai dan diputuskan agar tidak terlalu larut ketika sudah selesai. Jangan sampai malam yang larut dipakai Adrian sebagai alasan untuk menginap di sini lagi.

"Jadi, sebelum aku mengatakan jawabanku tentang pertanyaanmu tempo hari, aku ingin bertanya satu hal terlebih dahulu." Kataku memulai pembicaraan. "Apa yang membuatmu berpikir untuk menikah denganku? Kebalikan dari keadaanku saat ini, ku rasa pernikahan itu tak ada untungnya bagimu."

Adrian menatapku beberapa saat sebelum mengatakan sesuatu sambil tersenyum. Bukan senyuman manis seperti tadi ketika makan, tapi senyuman masam seperti senyuman orang yang dipaksa bercerita berkali-kali.

"Aku tau kau sudah memiliki jawabanmu, Na. Mengetahui ataupun tidak mengetahui alasanku, kau sudah punya jawaban akan pertanyaanku kemaren." Dia terdiam sebentar untuk menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Tapi tetap akan ku jawab pertanyaanmu. Kau adik sahabatku. Aku menyayangi keluargamu. Aku bahkan mencintai mommy seperti ibuku sendiri. Aku tidak ingin mereka semua sedih karena kegagalan pernikahanmu."

Hatiku sedikit nyeri mendengar penjelasannya. Memang kau mau mengharapkan jawaban apa, Alena? Bahwa dia mengajakmu menikah karena mencintaimu?

"Memang jika dilihat sekilas, tak ada untungnya bagiku untuk menikah denganmu." Lanjut Adrian. Dia tidak menatapku, melainkan melihat ke arah meja yang ada di depannya. "Tapi jika aku ingat umurku, rasanya memang sudah waktunya aku untuk menikah. Lagipula jika aku menikah denganmu, mommy akan benar-benar menjadi ibuku kan."

Aku mengalihkan wajahku dan melihat ke sekeliling ruangan. Mencoba untuk tak melihat pada Adrian. Aku tidak ingin merasa sakit mendengar segala alasannya menikah denganku bukan karena aku.

Lihatkan? Belum menikah saja, hatiku sudah merasa sakit. Bagaimana jika nanti menikah dan aku mencintainya lagi.

"Selain itu..." kudengar suara Adrian terdengar ragu-ragu. Mau tak mau membuatku menatapnya, yang ternyata kali ini dia sedang menatapku. Bukannya meneruskan kalimatnya, Adrian malah diam dan hanya balas menatapku.

"Selain itu, apa?" Tanyaku akhirnya.

"Bukan apa-apa. Aku hanya akan merasa sangat bahagia karena akhirnya menjadi keluarga. Dengan Doni, mommy, ayah, dan kau yang selama ini selalu jadi adik tersayang kami."

Ada rasa sakit yang kembali muncul, membuat dadaku terasa terhimpit. Ya, Alena. Adik. Bukankah selama ini kau sudah tau bahwa kau hanya adik baginya.

Aku berdehem untuk memastikan suara yang akan ku keluarkan tidak terdengar tercekat.

"Baiklah." Kataku pelan, karena masih takut kalau suaraku akan terdengar menyedihkan. "Aku akan menikah denganmu. Tapi aku memiliki syarat mengenai pernikahan kita."

Ku lihat alis Adrian sedikit mengkerut. Mungkin dia heran dengan syarat yang ingin ku ajulan untuk pernikahan kami.

"Kau ingin mengajukan syarat apa? Soal mas kawin? Seserahan? Atau adat pernikahan kita?"

"Bukan soal semua itu." Jawabku. "Aku bahkan tidak akan meminta seserahan padamu. Bahkan soal mas kawin, cukup sebagai syarat pernikahan. Aku tak peduli apapun mas kawinnya atau adat pernikahannya."

Aku menatapnya tepat di mata. Butuh langsung menatap matanya untuk mengatakan ini. Membuatnya percaya bahwa apa yang akan ku katakan adalah hal yang serius dan bukan candaan.

"Kau pernah bilang bahwa rencana pernikahanku dengan Candra terlihat sangat terburu-buru. Bahwa apapun tujuanku untuk menikah akan tetap terwujud bahkan ketika aku menikah denganmu." Aku sedikit menunduk untuk melihat tanganku yang mengepal di pangkuan. Kemudian kembali menatap matanya. Ini harus ku katakan langsung dengan menatapnya. "Aku ingin punya anak, Yan." Kataku akhirnya.

My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang