20

7.8K 404 7
                                    

Sabang.

Di sinilah aku sekarang. Di ujung bumi Indonesia. Sejauh inilah aku kabur.

Bunda dan mas Doni sudah heboh bahkan bisa dibilang marah-marah mendengar alasanku yang ingin refreshing sejenak dari rutinaitas. Kehamilan yang membutuhkan suasana tenang menjadi alasan andalanku. Alasan yang terlalu mengada-ada memang. Apalagi jika dilakukan di Sabang yang jauh dari Jakarta. Bahkan dari Solo tidak ada pesawat yang langsung ke Banda Aceh. Harus transit, satu kali, dua kali, bahkan ada yang tiga kali transit. Belum lagi ke Sabang nya harus naik kapal lagi dari Banda Aceh. 

Tentu saja aku tidak bilang bunda dan mas Doni kalau aku ada di Sabang. Aku hanya bilang di rumah teman di kepulauan seribu.

Bunda sempat marah-marah kenapa aku harus mencari ketenangan di rumah teman dan bukannya pulang saja ke Solo. Bahkan sempat ngambek tidak mau bicara padaku dan hanya mendiamkan saja semua penjelasan mengenai alasanku. Hingga akhirnya ayah menengahi kami dan membujuk bunda.

Mas Doni lebih galak lagi, menunding aku punya masalah dengan Adrian dan kabur. Bukan tudingan yang salah sebenernya, bahkan sangat  benar. Jadi aku harus berusaha extra keras untuk meyakinkan mas Doni. Lebih keras daripada ketika meyakinkan bunda.

Sedangkan Adrian, aku hanya meninggalkan pesan singkat bahwa aku pergi. Tanpa ada tambahan penjelasan apapun. Kemudian aku blokir nomornya dari handphone ku. Tak ingin mendengar suaranya bahkan membaca pesan yang mungkin dia kirimkan. 

Itupun jika dia masih ingat padaku. Mengingat saat ini dia sudah bahagia dengan keluarga kecilnya itu.

Aku pergi begitu saja dari apartemen. Bahkan aku tidak berusaha membereskan rajutan dan kantong belanjaanku yang masih berantakan di ruang tamu.

Aku langsung saja pergi keesokan harinya, setelah malam sebelum tidur ku yakinkan diriku untuk menenangkan diri dengan mengasingkan diri.

Dan Sabang lah yang menjadi pilihanku.

Aku pernah ke sini beberapa tahun lalu ketika ada pekerjaan ke Aceh. Dan aku langsung jatuh cinta pada langit dan warna lautnya yang biru. Orangnya yang ramah-ramah, suasana yang tenang dan udara yang bersih. Aku menyukai semuanya.

Aku menyewa sebuah rumah mungil bercat putih dengan teras menghadap laut. aku bisa duduk di teras itu ketika pagi untuk memandang laut biru itu atau sunset ketika senja menjelang.

Seperti pagi ini, pagi kedua ku di sini, masih ku nikmati dengan memandang birunya laut dan kicauan burung yang tidak terlalu berisik seperti di pasar burung, namun justru memberi ketenangan yang menentramkan hati.

Aku duduk di kursi teras sambil membawa susu hamilku yang masih hangat. 

Pikiranku sedikit berkelana ke Jakarta. Harusnya hari ini Adrian sudah kembali ke apartemenku sesuai janjinya kembali minggu ini. Mungkin dia bingung dengan apartemen yang kosong dan berantakan. Karena sebelumnya aku sudah menghubungi orang yang dipekerjakan Adrian untuk bersih-bersih apartemen agar tidak datang lagi. Aku bahkan sudah menghubungi Pak Hendi bahwa aku akan pergi beberap hari sehingga tidak perlu diantar jemput olehnya untuk ke kantor.

Yah, aku berusaha tidak membuat orang lain susah dan hanya menunggu seperti yang Adrian lakukan padaku. Tentu saja kecuali Adrian. Aku tidak akan mengatakan apapun atau menulis pesan apapun selain bahwa aku pergi.

Huuufhh.... Aku menghembuskan nafas panjang. Harusnya aku tidka melamun dan malah memikirkan Adrian. Aku di sini untuk bersantai dan melupakan apapun yang ada di Jakarta sana.

"Neng, jam segini kok sudah duduk manis di teras aja." Teh Deska tetanggaku yang asli Bandung menyapaku dari samping.

Aku menolehdan tersenyum padanya. teh Deska adalah orang yang menemaniku beberap atahun lalu ketika aku ke Sabang. Dan langsung ku hubungi ketika aku sudah mendarat di Aceh. Dia juga yang menawarkan rumah mungil ini padaku.

My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang