Ketika bangun dari tidur, kepalaku rasanya seperti mau pecah. Mungkin karena kebanyakan menangis, mengingat aku menangis dari sore sampai hampir tengah malam dan baru tertidur. Rasanya ini jauh lebih menyakitkan daripada ketika aku patah hati. Aku merasa sendirian dan tidak berdaya.
Pelan-pelan aku berjalan ke kamar mandi untuk membersihan diri. Namun belum sampai aku ke kamar mandi, perutku tiba-tiba terasa sangat mual dan aku ingin muntah. Dengan memegang erat-erat kepalaku yang masih sangat pusing, aku langsung berlari ke kamar mandi.
Entah apa yang sudah keluar dari mulutku, mengingat dari kemaren siang aku belum makan apapun. Tapi rasa mual ini tak juga mereda. Sepertinya sekarang aku masuk angin karena kebanyakan menangis.
Terbersit sedikit kecurigaan kalau aku benar-benar hamil, tapi langsung saja aku buang jauh-jauh. Tidak ingin lagi merasakan harapan yang akan terhempas lagi.
Setelah merasa enakan, dan sudah membersihkan diri, aku mengambil handphone ku untuk menghubungi Gion. Rasanya hari ini aku tidak akan sanggup untuk bekerja.
Ketika kucoba menyalakan handphoneku yang ternyata sudah mati, mungkin karena baterainya habis, kucari charger di meja samping tempat tidurku. Harus bersabar beberapa detik, hingga akhirnya handphoneku menyala.
Ku lihat ada beberapa miscall dari Adrian. Namun tidak ada pesan apapun yang ditinggalkan. Ku abaikan saja miscall tersebut, tanpa keinginan sedikitpun untuk balas menghubunginya dan langsung menghubungi Gion.
"Pagi darling. Pagi-pagi sudah telepon aja." Suara Gion terdengar sangat ramah dari seberang telepon. Ku lirik jam di dinding yang menunjukkan pukul lima kurang beberapa menit. Heran juga ternyata jam segini dia sudah bangun dan suaranya tidak terdengar mengantuk.
"Yon, bisa tidak aku cuti beberapa hari?" kataku langsung.
"Ada apa Len, kau baik-baik saja kan?' suaranya berubah cemas.
"Aku baik-baik saja. Hanya masuk angin, yang sepertinya lumayan parah. Dan rasanya aku ingin menyendiri dulu beberapa hari di apartemen."
"Ada apa darling? Apakah ada masalah?"
"Aku hanya merasa tidak ingin keluar dan ingin bermalas-malasan di rumah saja."
"Baiklah jika kau ingin cuti beberapa hari. Siapa tau itu bisa membantu menaikkan moodmu ketika kembali bekerja. Cutimu kemaren juga akhirnya gagal kau pakai kan?" Ku dengar Gion menarik nafas pelan dan terdengar ragu-ragu sebelum melanjutkan. "Bagaimana hasil ke dokter kemaren?" Akhirnya pertanyaan itu terucap juga olehnya.
Aku terdiam cukup lama dan air mataku sudah mengalir turun di pipiku.
"Alena.. darling..? Ada apa? Jangan menangis sayang. Apakah aku perlu ke sana? Kau sendirian di apartemenmu? Adrian masih belum kembali?" Ku dengar suara Gion yang mengeluarkan pertanyaan saling berurutan.
Ku seka air mataku dan berdehem beberapa kali sebelum menjawabnya. "Tidak apa-apa, Yon. Aku hanya terlalu sedih karena ternyata aku tidak hamil." Saat itu juga suaraku berubah menjadi tangisan. "Saat ini aku hanya ingin sendiri. Sungguh tak apa-apa kan jika aku cuti?"
Ku dengar Gion menghela nafas panjang. "Tidak apa-apa, darling. Pakailah sebanyak apapun waktu yang kau inginkan. Aku turut menyesal, sayang. Hubungi aku jika kau butuh bantuan apapun. Oke?"
"Terima kasih banyak, Yon." Kataku mengakhiri pembicaraan kami. Setelah menutup teleponnya, aku kembali menangis, namun kali ini aku hanya bisa menangis dalam diam karena terlalu lelah.
***
Sudah tiga hari aku mengurung diri di kamar. Hanya makan, tidur, dan menonton televisi. Tiap kak Doni, mba Eva, maupun bunda menelepon, untung saja suaraku sudah bisa terdengar ceria sehingga mereka tidak curiga dan khawatir. Kecuali kak Doni yang sepertinya mulai kesal dengan Adrian yang tidak kunjung kembali ke Indonesia.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby
ChickLitNamaku Alena, umurku hampir 30 tahun. Kadang ketika melihat sepupu-sepupu ku yang sudah memiliki suami dan menggendong anak, aku sungguh iri. Dengan umur yang hampir mendekati kepala tiga, makin hari keinginan untuk memilik bayi sendiri begitu kuat...